Beranda » Serat Centini [5]

Serat Centini [5]



4. Sunan Giri Prapèn

Sepeninggal pasukan Majapahit, beberapa hari kemudian Sunan Giri jatuh sakit, dan agaknya sudah menjadi keputusan takdir, beliau berpulang ke rahmatullah. Sunan Giri dikebumikan berdekatan dengan Kyai /nyai Samboja dan Sunan Ampel.

Setelah upacara pemakaman selesai kemudian ada sidang khusus dari para sesepuh di Pesantren Giri Kedhaton. Yang kemudian mengangkat putra kedua yakni Sunan Dalem untuk menggantikan ayahandanya, memimpin Pondok Pesantren Giri. Alasan menunjuk putra kedua, karena anak pertama adalah putri yaitu Ratu Gedhe. Seluruh kerabat sepakat Sunan Dalem diwisuda dengan nama Sunan Giri Kedaton [Sunan Giri II].

Sunan Giri Kedaton mempunyai putra sebanyak 10 orang , yaitu;

1] Sunan Sédamargi,

2] Sunan Prapèn Adi

3] Nyai Ageng Kurugangurun

4] Nyai Ageng Kulakan

5] Pangeran Lor

6] Pangéran Dheket

7] Pangéran Bongkok

8] Nyai Ageng Waru

9] Pangéran Bulu

10] Pangéran Sédalaut.

Beberapa tahun kemudian Sunan Giri Kedaton sakit, dan tak lama kemudian meninggal dunia.

Kemudian segenap santri dan juga keluarga segera mengangkat putra kedua yakni Sunan Prapen Adi untuk menggantikan ayahandanya, memimpin Pondok Pesantren Giri. Seluruh kerabat sepakat Sunan Prapen Adi diwisuda dengan nama Sunan Giri Prapen [Sunan Giri III].

***

Beberapa tahun kemudian , setelah pondok pesantren Giri dipegang oleh Sunan Giri Prapen, namanya semakin harum dan terkenal hingga ke Mancanegara. Banyak adipati di Brang wetan maupun Brang kulon yang berdatangan ke Pesantren Giri, untuk belajar tentang Islam.

Prabu Brawijaya, menerima laporan dari Patih Maudara bahwa kini pesantren Giri semakin kuat kedudukannya, bahkan pasukannya semakin besar. Sedangkan yang memimpin pesantren adalah cucu Sunan Giri yang bernama Sunan Prapen.

Laporan Patih Maudara, bahwa Sunan Prapen memiliki kesaktian yang luar biasa, bahkan setara dengan kakeknya Sunan Giri I, para Adipati banyak yang mendukung, dan ini sangat membahayakan kerajaan. Ki Patih juga melaporkan bahwa sudah mengirimkan utusan kepada Pimpinan pondok pesantren Giri, agar menyerah dan tunduk pada Kerajaan Majapahit, namun Sunan Giri Prapen tidak mau menyatakan takluk.

Prabu Brawijaya kemudian memberi perintah kepada Patih Maudara yang di dampingi segenap putra sentana menyerbu pesantren Giri, untuk yang ke dua kalinya.

Informasi invasi militer Majapahit terhadap Giri Kedaton, sudah tercium santri Giri dan disampaikan kepada Sunan Prapen. Sehingga kali ini para santri Giri dan penduduk Gresik telah siaga menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi.

Barisan prajurit Majapahit yang dipimpin langsung oleh Patih Maudara dan sebagai panglima sayap kanan dan sayap kiri dikendalikan oleh putra sentana. putra sentana, pemberangkatan pasukan bagaikan gulungan ombak samodra.

Prajurit sandiyuda sudah menapaki perbatasan Giri, mereka segera membentuk formasi sebar lebar, dengan perlindungan penuh [baris pendhem]. Patih Maudara sebagai panglima perang, segera memerintahkan penyerbuan, bende dan gong dipukul beratalu-talu sebagai isyarat penyerangan.

Prakiraan ki patih, seperti pada penyerangan pertama, beberapa tahun yang silam. Ki Patih menganggap santri Giri tanpa persiapan. Rupa-rupanya perhitungannya keliru besar, begitu pasukan Majapahit memasuki kawasan pesantren, para santri dan penduduk sipil terlatih, sudah mengepung prajurit Majapahit dari luar.

Sunan Giri menggunakan gelar Cakrabyuha, yang mengepung pasukan bagaikan lingkaran, yang semakin merapat. Tetapi pasukan Majapahit rupanya hanya memberikan pasukan sebagai tipuan saja, memang pasukan yang memasuki kawasan pesantren hanya khusus pasukan sandiyuda. Sedangkan pasukan infanteri dan artileri maupun pasukan berkuda justru mengepung dari ring tiga.

Para santri dan milisi Giri kini gantian yang terjebak, karena pasukan sandiyuda yang tadinya pura-pura terperangkap, kini berbalik menyerang. Pasukan Giri banyak yang tewas, dan korban pun berjatuhan bagaikan sabetan kail.

Karena kalah jumlah, barisan Giri lari tunggang langgang mencari selamat, masuk ke dalam hutan. Sunan Prapèn istri serta ke tiga putranya melarikan diri ke arah barat, mencari tempat yang aman.

Kemarahan pasukan yang kecewa, karena tidak mendapatkan lawan, maka seluruh bangunan di kawasan Giri semuanya dibakar habis, Giri Kedaton menjadi lautan api. Harta benda dijarah, kaum wanitanya diperkosa.

Sunan Giri dan putra sentana bersembunyi di makam Sunan Giri, kemudian atas perintah Sunan Prapen, juru kunci supaya membuka blabak kayu jati sebagai penutup trebela. Setelah blabak dipindahkan keatas, mendadak dari dalam trebela keluar tawon gung yang jumlahnya ribuan.

Lebah beracun itu terbang ke angkasa, bergumpalan bagaikan awan hitam, yang berarak-arak. Mendadak awan hitam itu meniup ke bawah dan menyerang barisan Majapahit yang sedang bersenang-senang karena kemenangannya.

Para wadyabala Majapahit lari pontang-panting seluruh tubuhnya menjadi lebam karena sengatan lebah beracun, banyak korban yang tewas. Melihat keadaan yang tidak terkendali, sebagian prajurit lebih baik mencari selamat, lari masuk hutan.

Namun barisan lebah yang semakin banyak itu mengikuti larinya rombongan ki Patih hingga sampai di kerajaan Majapahit. Dan lebah beracun itu menyerang yang ada di dalam istana, geger seluruh penghuni yang ada di dalam puri.

Menyaksikan hal seperti ini, prabu Brawijaya, kemudian menengadahkan tangannya ke langit, dan berteriak kerassun ora bakal siya-siya manèh marang para wiku, pandhita, kajaba ngemungna kang uwis kalakon”[ aku bersumpah, tidak akan mengganggu para santri dan Sunan, kecuali yang sudah terjadi].

Setelah selesai sang Prabu mengucapkan sumpahnya, seluruh barisan lebah beracun, berbalik arah melesat ke udara, dan terbang ke arah barat laut. Langitpun menjadi cerah.

Adapun juru kunci yang tadinya kakinya cacat [gejik] mendadak menjadi normal kembali seperti sedia kala.

Sunan Giri Prapen kemudian bersumpah di makam Sunan Giri I, ‘kelak Prabu Brawijaya akan dipermalukan oleh anaknya sendiri, karena telah menyengsarakan kami orang yang tak bersalah”…

Sastradiguna



Powered by Blogger.