Beranda » Hubungan Islam-Kristen: Catatan Sejarah untuk Kolaborasi Kebangsaan

Hubungan Islam-Kristen: Catatan Sejarah untuk Kolaborasi Kebangsaan



Agama Kristen adalah agama yang dipeluk oleh 2,2 miliar (32%) penduduk dunia. Sementara agama Islam, adalah agama yag dianut oleh 1,6 miliar (23%) warga dunia. Keduanya, dijadikan sebagai agama bagi lebih dari separuh jumlah umat manusia di muka bumi ini.
Baik Kristen maupun Islam, diakui sebagai agama yang berasal dari asal yang sama, disebut juga agama samawi. Lalu, bagaimanakah hubungan antar dua agama besar ini dalam perjalanan sejarah?
Perjalanan kedua agama yang berselisih waktu dalam rentang 6 abad ini menjadikan Kristen sebagai agama dengan jumlah umat terbanyak di dunia. Kemudian, diikuti oleh Islam sebagai agama dengan jumlah umat terbesar kedua di dunia.
Hijrah ke Negeri Kristen
Sejarah mencatat, penganut Islam pada awal kelahirannya pernah memperoleh perlindungan dari raja Habsy (kini bagian negara Ethiopia) yang menganut ajaran Kristen. Saat itu tekanan elit Quraisy atas pengikut ajaran yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW telah mencapai puncaknya, hingga sejumlah sahabat melakukan hijrah ke Habsy atau Abissinia.
Adanya persamaan agama Kristen dan Islam sebagai ajaran samawi dijadikan sebagai alasan nabi, mengapa hijrah pertama, sebelum hijrah ke Madinah yang bersejarah itu, dipilih untuk dilakukan.
Keberpihakan Nabi dan para sahabat yang lebih condong pada bangsa Romawi dalam peperangannya dengan Persia adalah fakta sejarah lain mengenai adanya hubungan yang didasarkan atas identifikasi persamaan ajaran samawi.
Jatuhnya Damaskus, Syria, sebagai salah satu pusat kekuasaan Romawi di tanah Arab ke tangan pasukan muslim yang dipimpin Khalifah Umar bin Khattab, pun mencatat perlakuan muslim yang sangat menghargai dan melindungi kaum nasrani untuk tetap melaksanakan keyakinannya dengan bebas.
Perang Salib
Namun, sejarah pun mencatat, bagaimana hubungan umat Kristen dan Islam berada pada level permusuhan yang berkepanjangan. Gagasan mengenai perang Salib (atau perang Sabil dalam kacamata umat Islam) pada abad ke-11 dan 12, telah menguatkan adanya fakta sejarah mengenai hubungan yang buruk antar kedua agama tersebut.
Gagasan mengenai pembebasan tanah suci Yerussalem, atau penaklukan kembali tanah Spanyol, menjadi isu yang sangat menarik bagi kedua pengikut agama untuk terus terlibat dalam peperangan yang berkepanjangan.
Kisah mengenai kepemimpinan Shalauddin Al Ayyubi, menjadi bagian penting dalam kurun waktu ini. Upaya perebutan kekuasaan atas daerah-daerah yang dikuasai oleh penganut agama yang berbeda menjadi catatan sejarah konflik antar pemeluk kedua agama tersebut.
Puncaknya, adalah pada tahun 1453. Ketika itu, Konstantinopel, pusat kekuasaan Romawi Timur (Byzantium) yang Kristen jatuh ke tangan pasukan Turki Utsmani yang kemudian dianggap menjadi penerus kekhalifahan Islam sebelumnya, pasca kehancuran dinasti Abasiyyah di Baghdad.
Kolonialisme Modern
Jatuhnya simbol kekuasaan Kristen di Konstantinopel telah menimbulkan reaksi yang sangat luar biasa bagi para pimpinan Kristen di Eropa. Hilangnya kota Konstatinopel dalam peta perjalanan bagi kaum Kristen, memaksa untuk mencari alternatif lain, terutama melalui jalur pelayaran di lautan.
Bergabungnya kepentingan kekuasaan (glory), kekayaan (gold) dan penyebaran agama (gospel) yang didukung oleh para pimpinan penguasa bersama pimpinan gereja di Eropa telah melahirkan catatan sejarah baru dimulainya babak kolonialiasi modern bangsa Eropa atas bangsa-bangsa lainnya, terutama di Asia dan Afrika.
Pada masa kolonialisme ini, hubungan Kristen dan Islam pun telah memasuki babak baru, di mana Kristen teridentifikasi oleh penduduk setempat sebagai bagian dari agama para penjajah. Saat itu, perlawanan atas bentuk penjajahan bangsa Eropa seringkali hampir diidentikkan dengan perlawanan atas penyebaran agama Kristen.
Gagasan perang salib, semangat reconquesta (penaklukan kembali), hingga sejarah terjadinya kolonialisasi telah memberikan dampak yang sangat luar biasa atas hubungan antar kedua pemeluk Islam-Kristen, khususnya di Indonesia. Dampaknya, perasaan permusuhan itu, sebagian masih terus dirasakan hingga generasi sekarang.
Kebangkitan Islam
Semangat kebangkitan kembali Islam yang muncul terutama sejak akhir abad ke-19, saat kekhalifahan Turki Utsmani diambang kehancuran merupakan reaksi balik atas kekalahan sejarah yang pernah dialami oleh umat Islam.
Peperangan yang terjadi pada negeri-negeri muslim yang menginginkan kemerdekaan dari penjajahan bangsa Eropa, sebagiannya merupakan semangat untuk melakukan perlawanan berdasarkan atas hubungan Islam-Kristen. Hal ini tidak berarti menutup fakta sejarah bahwa banyak pimpinan Kristen yang juga ikut andil dalam perjuangan meraih kemerdekaan.
Pasca Perang Dunia II, dimana banyak negeri-negeri muslim telah merdeka, termasuk Indonesia, sisa-sisa konflik sejarah tersebut sebagian masih terus berlanjut. Wujudnya, adalah dalam bentuk pilihan model pembangunan bagi negara-negara yang baru merdeka.
Saat itu, westernisasi sebagai bentuk model pembangunan ala Barat mendapat tanggapan yang sangat kritis dari kelompok mereka yang menginginkan “orisinilitas” model pembangunan bagi bangsanya sendiri.
Pada titik ini, secara perlahan Kristen terpilah kembali dari Western (Barat), dimana semangat nasionalisme muncul sebagai alternatif lain dalam merespon cara Barat. Meski begitu, stigma Kristen adalah Barat dan Barat adalah Kristen masih melekat pada sebagian kaum muslimin.
Akibatnya, stigma ini masih cukup mempengaruhi atas persepsi dan sikap sebagian umat islam yang masih menidentifikasi permasalahan yang terkait dengan Barat berhubungan dengan Kristen. Isu terorisme yang menjadi isu kontemporer, telah ikut mewarnai pula atas hubungan baru Islam-Kristen.
Kompetisi Global
Kini, ketika dunia telah menjadi kampung global yang kian saling berhubungan dan bergantung satu sama lain, telah menemukan momentum untuk mendorong hubungan antar keduanya menjadi lebih baik lagi.
Dalam konteks Indonesia, maka hubungan Islam-Kristen mendapatkan pemaknaan baru ketika bangsa ini dihadapkan pada kompetisi yang kian ketat dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Tampilnya Indonesia, sebagai salah satu negara yang banyak diramalkan bakal menjadi pemain penting di dunia, diharapkan dapat lebih memperkuat hubungan baru Islam-Kristen di negeri ini.
Peran Eropa yang pernah tampil dominan selama tiga abad terakhir ini, kian menyurut dengan tampilnya bangsa-bangsa lain, seperti China, India, Brasil dan Indonesia sebagai pemain-pemain baru yang akan ikut menetukan masa depan dunia.
Krisis finansial yang bermula pada tahun 2008, ternyata masih berdampak serius bagi banyak negara-negara di Eropa yang hingga kini belum beranjak pulih. Stagnasi pertumbuhan ekonomi telah membuat ancaman resesi yang kian serius bagi benua biru. Secara nyata, krisis bermula dari Yunani, Portugal, Italia, Spanyol, Perancis, Belanda, Inggris hingga Jerman pun tak terlepas dari ancaman krisis pula.
Eropa Belajar kembali?
Bagi Eropa, mungkin inilah saat yang paling tepat untuk bisa belajar kembali dari bangsa-bangsa lain. Selama ini, Eropa merasa diri sebagai bangsa yang paling superior dengan dampak yang sangat luar biasa signifikan bagi bangsa-bangsa lain hingga sekarang.
Harapannya, tentu agar Eropa tidak lagi mengulangi sejarah keangkuhannya yang mengabaikan fakta sejarah besarnya sumbangan peradaban bangsa lain (terutama peradaban Islam) bagi kemajuan Eropa modern saat ini.
Semangat renaisance, di mana Eropa berniat keluar dari abad kegelapan dengan menyusuri kembali peradaban Yunani dan Romawi, tidak akan memperoleh pemahaman yang lebih baik, tanpa mengikutsertakan sumbangan peradaban Islam mengenai hal yang sama.
Sama halnya, ketika peradaban Islam memanfaatkan banyak keunggulan peradaban bangsa lain, terutama perdaban Yunani dan Romawi, untuk kejayaannya selama 700 tahun dalam panggung sejarah dunia.
Almarhum Nurcholish Madjid pernah mengatakan, pemahaman dan kesadaran atas terjadinya pertukaran sumbangan antar peradaban ini menjadi penting, terutama untuk membangun hubungan baru yang lebih konstruktif, jujur dan saling menghargai.
Satu sisi, kesadaran ini akan menebas keangkuhan Eropa untuk mengakui utang budayanya terhadap peradaban Islam. Sedangkan pada sisi lain, kesadaran ini pun akan mengikis apa yang disebut oleh Cak Nur sebagai rasa rendah diri (inferiority complex) kaum muslim, sedemikian rupa sehingga muncul kepercayaan diri untuk kemudian dijadikan modal bagi perkembangan selanjutnya untuk kemajuan.
Kolaborasi Kebangsaan
Adanya perubahan konstelasi dunia ini diharapkan pula dapat memberikan dampak positif bagi hubungan antar pemeluk agama-agama di Indonesia. Sebuah negeri, yang kini mencatatkan diri sebagai berpenduduk muslim terbesar di dunia.
Di sini, ajaran agama-agama harus menemukan bentuk dan semangatnya yang lebih relevan, sehingga bangsa ini dapat maju atas hasil dari kolaborasi kebangsaan. Termasuk di dalamnya, adalah kolaborasi kerja-kerja kemanusiaan antar para pemeluk agama yang berbeda.
Isu-isu kemanusiaan universal, seperti masalah kemiskinan, pengangguran, korupsi, pendidikan, kesehatan, kelestarian lingkungan hidup, demokrasi, hak asasi manusia, dan lain-lain seharusnya akan mampu mendorong pilihan kerjasama yang lebih erat antar kedua pemeluk agama.
Agama, dengan demikian, dapat berfungsi sebagai salah satu bagian dari modal sosial bagi kemajuan bangsa ini dalam bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Bukan sebaliknya.
Realitas sosial, ekonomi dan politik, seringkali mendorong kembali hubungan antar kedua pemeluk agama ini menjadi ironi. Agama, dengan demikian, jatuh sebagai bagian dari masalah, bukan solusi bagi bangsa dan para pemeluknya.
Srie




Powered by Blogger.