SETELAH enam tahun Sultan Iskandar Muda menjabat sebagai Sultan Aceh, maka terjadilah gejolak-gejolak politik di daerah taklukan dan pergesekan kepentingan wilayah dagang dengan pelabuhan asing. Di masa ini lah bangsa asing melihat teknologi modern yang dimiliki Aceh. Teknologi itu diberi nama Espanto del Mundo.
Berdasarkan catatan kitab II Bustan us Salatin karangan Nuruddin Ar Ranirry dan Kerajaan Aceh karya Denys Lombard menceritakan, di masa tersebut sultan pada awalnya memulihkan ketertiban dalam negeri dan kemudian memperluas kawasan pelabuhan dagang.
Pemulihan ketertiban ini dengan mengurangi pengaruh dan perlawanan orang kaya (bangsawan). Bagi penulis Eropa mereka menyebutnya dengan orancaya, orancaye, atau menerjemahkannya dengan gentilz hommes (Fr. Martin), noblemen (Davis).
Bangsawan ini menempati kedudukan sosial yang khas. Di kota ia mempunyai kediaman besar yang ramai dengan pengawal setia dan budak. Dalam lumbung-lumbungnya ada cadangan beras yang dipakai untuk berspekulasi, atau cadangan lada yang penjualannya diusahakannya dengan harga setinggi-tingginya.
“Orang kaya itu masing-masing bertanggung jawab atas suatu keluasan tanah yang penduduknya tunduk kepada mereka dan kepada peradilan mereka; kalau ada persengketaan atau kesalahan mengenai apa pun juga, orang yang bersangkutan dipanggil ke ambang pintu rumah mereka: di situlah mereka bersidang,” ujar Beaulieu.
Orang kaya inilah yang kemudian menjadi oposisi pemerintahan Iskandar Muda. Mengikuti jejak kakeknya, Sultan Iskandar Muda kemudian membersihkan dan mengamankan pengaruh para bangsawan ini dari kerajaannya.
Pihak oposisi yang berpengaruh kemudian diganti dengan orang kaya baru oleh Iskandar Muda. Beberapa diantaranya yang melawan, terpaksa ditumpas oleh Sultan. Bagi para bangsawan yang dibiarkan hidup, mendapat pengawasan ketat dari Sultan Iskandar Muda.
“Semua orang kaya dari Aceh dan sekitarnya harus menghadap ke istana tiga hari sekali dan ikut mengawal satu hari satu malam, semuanya itu tanpa menggunakan senjata,” ujar Beaulieu.
Setelah berhasil mengamankan oposisi, Sultan Iskandar Muda kemudian mengawasi dan mempertahankan pelabuhan-pelabuhan dagang. Diantaranya Pasai, Pedir, Tiku, Pasaman, Deli, dan Aru.
Pelabuhan dagang ini tidak dibiarkan bebas karena mereka akan berhubungan langsung dengan bangsa Portugis atau Johor.
Guna mengoptimalkan pelabuhan dagang Ulee Lheue, Sultan Iskandar Muda mengincar pelabuhan dagang yang berada di seberang selat, terutama Malaka yang sudah seabad lamanya dikuasai Portugis. Pelabuhan Malaka masih sangat makmur dan menghasilkan dari bea cukainya. Kendati demikian, banyak pelaut-pelaut Islam lebih suka pergi ke Aceh.
Meski pun Malaka dikuasai Portugis, namun sejak Portugal digabung dengan Spanyol dan Raja Felipe II sama sekali tak menghiraukan pelabuhan dagang yang jauh itu. Akibatnya kondisi tersebut terus memperparah perekonomian di pelabuhan Malaka.
Pun begitu, Malaka tetap bertahan dan hal inilah yang tidak diinginkan Sultan Iskandar Muda karena dapat menyebabkan pelabuhan Aceh mati.
Sultan juga menyiapkan armada laut di tiga pelabuhan perang yaitu Aceh, Daya dan Pedir. Menurut kesaksian Beaulieu, di tiga pelabuhan ini bersandar kira-kira seratus galias besar yang siap berlayar.
“Sepertiganya besar tanpa tanding dibandingkan dengan galias yang mana pun yang pernah dibangun di dunia Nasrani,” ujar Beaulieu.
Selain yang diceritakan Beaulieu tersebut, armada laut Kerajaan Aceh juga memiliki satu kapal terbesar dan sangat istimewa sekali. Kapal tersebut kemudian dikirim ke Malaka pada bulan Juli 1629.
Sayang sekali, Portugis berhasil menangkapnya bersama laksamana yang membawanya. Pasukan Portugis merasa takjub dan heran melihat kapal laut terbesar di dunia pada masa itu. Mereka kemudian mengirimkan kapal ini ke Spanyol sebagai tanda kemenangan.
Menurut keterangan Faria y Sousa, kapal itu bernama Espanto del Mundo atau Cakra Donya yang berarti Teror Dunia. Dia menggambarkan, kapal itu mempunyai mesin yang panjangnya 400 jengkal (sekitar 100 meter).
Kapal itu mempunyai tiga tiang pada jarak yang layak (se levantavan approporcionadas distancias tres arboles), memiliki 100 unit lebih meriam. Salah satu meriam tersebut beratnya mencapai dua arroba (mas de arrobas).
“Tidak sia-sialah kapal itu diberi nama Cakra Donya. Betapa mulianya, betapa kuatnya! Betapa indahnya, betapa kayanya! Meskipun mata kita sudah capai karena sering heran melihat benda-benda indah, kami semua terbelalak melihat yang ini,” ujar Faria y Sousa.[bna Denys Lombard : Kerajaan Aceh | Nuruddin Ar Ranirry : Bustanussalatin