TSUNAMI merupakan kata yang sangat melekat dalam ingatan masyarakat Aceh saat ini. Musibah tsunami yang menguncang Aceh, 26 Desember 2004 lalu, telah menelan korban jiwa hampir 300 ribu warga di Aceh.
Menurut catatan sejarah di Aceh, Aceh pernah dilanda gempa dan tsunami sebanyak empat kali: 1768, 1869, 1907, dan 2004 lalu.
Namun sejak zaman dulu, namanya bukan tsunami, melainkan smong atau ie beuna. Dari berbagai referensi disebutkan, gempa dan gelombang tsunami pada 1907, menelan korban sekitar 400 orang.
Bukti tsunami pernah melanda Aceh pada ratusan tahun lalu, dengan hilangnya Gampong Neujid, di Kemukiman Lam Pageu, Kecamatan Peukan Bada, Aceh besar.
Desa itu berada di pesisir pantai. Setelah ie beuna menerjang di kampung itu hanya tersisa sebuah makam tua di atas gundukan tanah tinggi. Masyarakat di sana menyebutnya “Tuanku Di Pulo”.
Berdasarkan Kamus Bahasa Aceh-Belanda karangan Hoesin Djajadiningrat, arti dari ie beuna adalah gelombang tinggi yang berasal dari laut melanda daratan, diakibatkan karena gempa.
Sementara di daerah Simeulue, istilah tsunami lebih dikenal dengan sebutan smong, sesuai dengan bahasa pribumi setempat.
Menurut cerita, pada zaman Kesultanan Aceh, ie beuna pernah terjadi di tengah laut, namun tidak sampai menghancurkan daratan. Waktu itu kapal-kapal kerajaan memakai persenjataan meriam untuk menembak gelombang ie beuna yang muncul dengan ketinggian dua kali pohon kelapa di tengah laut.
Kisah itu dikuatkan dalam sebuah hikayat Aceh kuno, karangan Tengku Di Tucum, yang menceritakan tentang bermacam-macam bencana di Aceh. Kira-kira bunyi hikayatnya seperti ini, “Apabila ulama dijahilkan dan aulia dipermalukan, maka akan datang azab dari Allah SWT berupa air laut naik ke darat”. DARI BERBAGAI SUMBER