2. Sunan Giri
Nyai Samboja yang di Gresik dikenal dengan nama Nyai Randha Sugih, sejak merawat bayi yang ditemukan di tengah laut Banyuwangi itu, usahanya menjadi lancar dan semakin meningkat. Nyai Randha Sugih orangnya suka bersodaqoh, sehingga penduduk Gresik sangat hormat pada Nyai Samboja, dan selalu membantu jika tenaganya dibutuhkan.
Jaka Samodra, kini sudah berusia 12 tahun, kemudian untuk menambah pengetahuan tentang agama Islam, ibunya menyuruh belajar ke pondok pesantren Sunan Ampel di Surabaya. Karena Jaka Samodra sangat cerdas, maka seluruh ilmu yang diberikan oleh Sunan Ampel dapat diterima dengan baik.
Disana Jaka Samodra berteman dengan putra Sunan Ampèl yang sering dipanggil dengan Santri Bonang. Usia kedua anak itu tidak selisih jauh. Setelah beranjak dewasa Jaka Samodra diganti namanya oleh Sunan Ampel dengan sebutan Santri Giri.
Kedua pemuda Santri Giri dan Santri Bonang bertekad untuk mencari ilmu syari’at rasul, dan ilmu hadist dan tafsir Qur’an. Kedua Santri itu meninggalkan Ngampèlgadhing dengan tujuan Mekah, dengan naik perahu.
Perjalanan kedua santri itu tidak diceritakan, tetapi terdampar di kerajaan Pasai [ Malaka], dan bertemu dengan Sèkh Wali Lanang [ Maulana Ishaq]. Sudah satu tahun lebih, keduanya berguru pada Sèkh Wali Sidik, kemudian Santri Giri lan Santri Bonang akan melanjutkan perjalanannya ke Mekah, tetapi oleh Maulana Ishaq dicegah, agar kembali saja ke Jawa.
***
Sunan Ngampèl merasa gembira karena kedua santri Giri dan Bonang mendapatkan bimbingan langsung dari Sekh Maulana Ishaq. Kemudian santri Giri setelah menerima wejangan dari Sunan Ampèlgadhing diijinkan pulang ke Gresik dan mendirikan pesantren di desa Giri. Dan berpesan pada santri Giri, kelak jika sunan Ampel meninggal, agar dimakamkan dekat dengan Ki Samboja. Disamping itu santri Giri berhak menyandang gelar dengan sebutan Prabu Setmata.
Pada mulanya santri Giri tidk mau menerima sebutan gelar tersebut, karena menggunakan istilah Prabu, nanti dikira menyamai kedudukan Raja Majapahit Prabu Brawijaya. Kemudian sunan Ampel menjelaskan bahwa meskipun menggunakan nama gelar Prabu, tetapi tidak menguasai wilayah atau memerintah rakyat, itu hanya nama gelar di pesantren saja. Dan akhirnya santri Giri mau menerima gelar tersebut. Setelah memberikan penghormatan, santri Giri minta diri dan meninggalkan Surabaya.
Syahdan, pada saat itu Nyai Randha Sugih atau Nyai Samboja, sedang menderita sakit yang cukup parah, para tetangga dan sahabat-sahabatnya datang ziarah. Beberapa orang diutus untuk menjemput santri Giri di Surabaya. Di tengah perjalanan bertemu dengan santri Giri, kemudian segera bergegas pulang, setelah diberitahu tentang keberadaan nyai Samboja.
Nyai Samboja terkejut dan juga merasa senang ketika putranya telah datang, santri Giri dirangkul diciumi, dan nyai Samboja menangis karena gembira melihat putranya asuhnya.
“ anakku Jaka Samodra, ibu sangat merindukanmu nak, kenapa lama sekali tidak memberi kabar pada ibu?”
“ maaf ibu, Samodra, setelah berguru pada kanjeng Sunan Ampel, terus berkelana sampai ke negeri Pasai, dan setelah mendapatkan wejangan dari Sekh Maulana Ishaq dan Sunan Ampel, saya disuruh pulang ke Giri dan agar mendirikan Pondok Pesantren di Giri!”
Nyai Samboja menatap wajah anaknya, nampak kilatan aura yang tidak dimiliki oleh manuisa awam, dan nyai Samboja tersenyum bangga, dalam hatinya berkata’ anak ini akan menjadi orang terkenal nantinya.”
Santri Giri kemudian menceritakan kisah pengalamannya selama berguru pada Sunan Ampel dan bertemu dengan Sekh Maulana Ishaq, dan wejangan terakhir dari Sunan Ampel.
Kemudian pesannya Nyai Samboja pada santri Giri “ anakku kalau kehendakmu akan mendirikan pondok pesantren, ya ibu mendukung niatmu, panggillah para sudagar sahabatku, , nak!”
Para sudagar dan sahabat nyai Samboja telah berkumpul, dengan suara lirih nyai Samboja berkata” Anakku, talqinlah aku membaca dua kalimah syahadat!”
Santri Giri kemudian membaca dua kalimah syahadat dan ditirukan oleh nyai Samboja, kini hati nyai Samboja menjadi terang, dan semakin tenteram.
“anakku, gunakanlah seluruh hartaku ini untuk mendirikan pondok pesantrenmu, juga para sahabatku, tolong bantu ankkaku untuk menyelesaikan hajatnya !”
Semua yang mendengarkan wasiyat nyai Samboja, terdiam sambil menundukkan kepala, tanda mengiyakan perintahnya.
‘ pesan terakhirku, anakku, hajikanlah ibumu ke Mekah!”
Santtri Giri menganggukkan kepalanya, dan nyai Samboja telah kembali ke pangkuan sang Khaliq. Kemudian setelah jenazahnya dirawat dengan baik, dimakamkan di sebelah Kyai Samboja.
Warga desa Giri sejak saat itu berikrar melakukan syari’at rasul melaksanakan ibadah menurut sarak, mengaji al qur’an, dan bergotong royong mendirikan masjid. Di halaman belakang masjid kemudian dibangun sebuah panggrok sebagai tempat pesantren.
Santri Giri dinikahkan dengan nyi Ageng Ratu, putrinya Sunan Ampeldenta. Beberapa tahun kemudian Sunan Ampel meningggal dunia, dan sesuai wasiyatnya dimakamkan di Gresik dekat dedkan ki Samboja.
Setelah pernikahan itu santri Giri yang kemudian bergelar Prabu Setmata, pesantrennya menjadi semakin ramai, para santrinya datang dari berbagai daerah. Nama Sunan Giri semakin dikenal di tanah Jawa.
Sunan berputra delapan orang dari Nyai Ageng Ratu, masing-masing bernama:
1] Ratu Gedhé ing kukusan
2] Sunan Dalem
3] Sunan Tegalwangi
4] Nyai Ageng Saluluhur
5] Sunan Kidul
6] Ratu Gedhé Saworasa,
7] Sunan Kulon
8] Sunan Waruju.
Dan dua orang dari selir yaitu;
1] Pangéran Pasirbata
2] Siti Rohayah. Sastra Diguna