Beranda » Bukti Sejarah Makam Penjajah Belanda di Pantonlabu Nyaris Hilang

Bukti Sejarah Makam Penjajah Belanda di Pantonlabu Nyaris Hilang



Bukti peninggalan sejarah berupa komplek Gelewang Aanval dan Meurandeh Paya, makan penjajah kolonial Belanda di Jalan Perdagangan, Kota Pantonlabu, Kecamatan Tanah Jambo Aye, Aceh Utara, nyaris hilang. Di lokasi itu kini dibangun kios pedagang kaki lima dan beberapa bangunan pertokoan. Selain itu, makam itu juga telah ditimbun.
Jika pun ada bukti area itu merupakan sejarah yang terlupakan, hanya karena masih terpampang tulisan berbahasa Belanda di salah satu tugu yang berbunyi, “Hulde Aan de Gevellenen Budeu Klewang Aanval Te Simpang Olim Op” dan  “Ter Herinnering Aede Gavallenen BJJ Meurandeh Paya”.
Di area makam itu dikubur serdadu Belanda yang tewas di dua titik lokasi penyerangan pahlawan Aceh. Masing – masing di Simpang Ulim, Aceh Timur pada tahun 1902 dan di Meurandeh Paya, Baktiya Barat, Aceh Utara pada tahun 1905.
Dalam buku yang ditulis Ali Akbar, Kepala Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Aceh Utara tahun 1987 dengan judul Perjuangan Cut Nyak Mutia di Rimba Pasai.
Dikisahkan, bersama Cut Nyak Mutia, Teuku Chik Muhammad atau yang lebih dikenal Teuku Chik Di Tunong berperang melawan Belanda. Pada Juli 1902 suami istri itu bersama pasukannya menewaskan 8 dari 30 serdadu Belanda yang dipimpin Sersan Stejn Parde.  Pada 22 Agustus 1902, Teuku Chik Di Tunong dan istrinya menghadang patroli 20 serdadu Belanda. Tujuh di antaranya tewas dan beberapa pucuk senjata dirampas.
Teuku Chik Di Tunong juga lihai merancang strategi penyerangan. Melalui mata-mata Pang Gadeng pada 25 November 1902, disebarkan berita bahwa Teuku Chik Di Tunong, istri, dan pasukan akan mengadakan kenduri besar di Matang Rayek (Sampoiniet, Baktiya, Aceh Utara).
Mendengar berita itu, Belanda mengirim pasukan yang dipimpin Letnan RDP de Kok. Pasukan ini harus menyusuri sungai agar sampai ke Matang Rayek. Dua pendayung di sungai itu diperintahkan oleh Teuku Chik Di Tunong melubangi perahu yang ditumpangi serdadu Belanda dan menyumbatnya dengan alat yang mudah dicabut.
Di tengah sungai, tanpa diketahui pasukan Belanda, dua pendayung mencabut sumbatan sehingga perahu tenggelam. Teuku Chik Di Tunong yang menunggu di darat menyerang RDP de Kok dan serdadunya, 28 serdadu tewas dan 42 pucuk senjata dirampas.
September 1903, Kapten H.N.A. Swart, selaku Komandan Detasemen Belanda, memanggil Cut Nyak Asiah (ibu angkat Teuku Chik Di Tunong) dan Teuku Chik Bentara agar membujuk Teuku Chik Di Tunong turun gunung. Kalau tidak, Cut Nyak Asiah akan diasingkan ke Subang. Pada 5 Oktober 1903, Teuku Chik Di Tunong bersama pengikutnya melapor pada Swart di Lhokseumawe. Dia diterima menetap di wilayah Keureutoe.
26 Januari 1905 terjadi insiden yang menggemparkan Belanda, yaitu peristiwa Meurandeh Paya. Saat itu 17 serdadu infantri Belanda dipimpin Sersan Vallaers  menginap di Meunasah Meurandeh Paya selepas berpatroli.
Di bawah komando Peutua Dolah dan Teuku Chik Di Buah, serdadu diserang pejuang rakyat yang menyaru pedagang buah dan telur ayam, tetapi bersenjata gelewang. Pasukan gelewang dengan cepat naik ke meunasah dan mencincang serdadu Belanda yang tengah beristirahat.
Peristiwa Meurandeh Paya pukulan berat bagi Belanda. Swart memerintahkan Letnan Van Vuuren, serdadu Belanda yang mahir bahasa Aceh, mencari aktor penyerangan itu. Akhirnya diketahui penyerbuan di Meurandeh Paya dirancang Teuku Chik Di Tunong.
5 Maret 1905, Di Tunong ditangkap Van Vuuren dan dipenjarakan di Lhokseumawe selama 20 hari.
Teuku Chik Di Tunong dan Teuku Di Buah lalu diputuskan dihukum mati di tiang gantungan. Namun, hukuman itu dibatalkan Gubernur Militer Belanda, Van Daalen, diganti hukuman tembak.
M Jakfar Ahcmad, mantan anggota DPRK Aceh Utara yang juga putra daerah Kota Pantonlabu menyayangkan pembangunan kios, toko dan penimbunan di lokasi makam. “Itu merupakan bukti keperkasaan pahlawan Aceh dalam menumpas penjajah Belanda. Sangat disayangkan jika makam itu rusak.”
Sebagai masyarakat, dirinya berharap Pemerintah Aceh melalui Pemerintah Kabupaten Aceh Utara dapat turun ke lokasi, guna melihat langsung lapak kios pedagang kaki lima yang bertengger rapi di area makam.
“Jangan sampai anak cucu kita hanya menganggap kisah perjuangan pahlawan Aceh hanya sebagai dongeng belaka. Karena bukti sejarahnya hilang. Kita harap makam itu dipugar dengan baik,” tutup Jakfar. (mrd)



Powered by Blogger.