Jaka Wanabaya terus melakukan perjalanan mencari desa yang bernama Mangir, seperti pesan yang didengarnya ketika bertapa di goa Langse. Singkat cerita Jaka Wanabaya berhasil menemukan desa Mangir, dan tinggalah ia disitu.
Beberapa tahun kemudian nama desa Mangir di sepanjang aliran sungai Praga, menjadi semakin terkenal, dan bahkan semua penduduk mengelu-elukan Jaka Wanabaya. Karena dia berhasil memajukan desa itu.
Kemudian ia menikah dengan anak seorang pendatang dari Juwana, dan mereka juga ikut andil membesarkan desa Mangir. Setelah pernikahan itu, ia dinobatkan oleh penduduk, dengan nama Ki Ageng Wanabaya. Tidak diceritakan berapa lamanya, tetapi ia dianugerahi seorang anak laki-laki dengan paras yang tampan, ia disebut Guntur geni .
20 tahun kemudian
Alkisah ki Ageng Wanabaya sedang mempunyai hajat, para tetangga sedang sibuk membuat tenda dengan segala ubarampe hiasannya, ada gamelan lengkap, pasang bleketepe, dan juga tetuwuhan rinengga pepasren.
Pada hari dimulainya acara pernikahan, tamu banyak yang berdatangan bahkan dari tetangga desa dan yang pernah mendengar namanya juga hadir dalam acara pernikahan anaknya.
Diantara para tamu undangan yang hadir, ada seorang tamu yang mengenakan dhestar wulung kluwuk, surjannya gadung mangkak dengan jarit tuwuh sela [1]. Tamu yang satu itu memasuki sasana pawiwahan duduk sendirian tiada teman dan bahkan tak seorangpun menyapanya, karena orang yang mengenakan busana, seperti itu hanya orang miskin saja. Maka tidak ayal lagi ketika para tamu mendapatkan semua hidangan lengkap, maka orang yang ada di pojok dan menyendiri itu, sama sekali tidak mendapatkan makanan ataupun minuman. Para sinoman [2] memang sengaja tidak memberikannya.
Ki Ageng Wanabaya melihat dari kejauhan bahwa salah seorang tamunya belum mendapatkan hidangan, selanjutnya menyuruh para juruladi agar menyiapkan hidangan untuk tamu yang misterius.
Ki Ageng menyilakan tamunya :” kisanak, maaf agak terlambat memberikan hidangan, silahkan dinikmati sepuasnya“.
Sang tamu yang misterius ini setelah di silakan menganggukan kepala seraya mengatakan ;”matur nuwun” kemudian makan dengan lahapnya bahkan sebuah tumpeng di hadapanya habis dimakan.
Juru ladi melihat tamunya seperti kelaparan itu, kemudian mengeluarkan lagi hidangan serupa, dan semua dimakan dengan lahapnya. Semua tamu di dekatnya heran, termasuk ki Ageng Wanabaya, hanya duduk tercenung melihat tamu yang satu ini.
Tamunya aneh seperti orang yang tidak makan berhari-hari, ia kelihatan rakus dan lahap sekali, semua hidangan yang ada dihadapanya dihabiskan, kemudian ditambah lagi dan ditambah lagi ludes. Sang tamupun sambil melirik pada orang-orang di sekitarnya.
Setelah acara selesai para tamu berpamitan pada Ki Ageng Wanabaya, sambil memberikan uang sumbangan, satu per satu bersalaman.
Demikian pula yang sedang melakukan penyamaran, ia memberikan sumbangan juga seperti yang lainnya;” ki Ageng niki kula ngaturi panjurung tumbas sedhah, paring Hyang Agung “( ki Ageng ini saya sekedar untuk membeli sirih saja, pemberian dari Hyang Agung, mohon diterima).
Kemudian tuan rumah menerima sumbangan, tetapi terkejut karena orang tersebut sama sekali tak dikenalnya dan bukan penduduk sekitar kali Praga.
“ ki sanak pakenira enggèn pundi wisma ndika yekti, klawan sinten sinambating nama, manira tambet wiyosé “( kisanak, anda tinggal dimana, dan kalau boleh tahu siapa nama anda, karena kami belum pernah mengenal anda).
Orang yang misterius ini menjawab;” Ki Dulrajak nama kula saking desa Samatingal gubug ulun, manira nuwun wangsulan “ ( namaku ki Dulrajak, hamba tinggal di desa Samatingal itulah yang dapat kami sampaikan) .
Kemudian tamu aneh ini segera pergi tanpa menunggu jawaban dari ki Ageng, dan meninggalkan pendapa. Tanpa diketahui juruladi dan orang lain kemudian berhenti disuatu tempat.
Segera kanjeng Sunan berganti busana dengan busana jangkep yang istimewa seperti layaknya seorang Demang, dhestar banguntulak dengan perhiasan emas, cinde tumpak, beskap bludru hijau tua dan epek emas dengan bordiran benang emas, keris berpendok emas barleyan, ukiran prasu emas topengan terbuat dari emas, nyamping tambalanoman, lancingan panji dan menaiki seekor kuda yang bagus dengan diiringi para pengikut dua belas orang jumlahnya. Kemudian kembali menuju ketempat pawiwahan.
Semua orang yang melihatnya seperti datangnya sepasukan kuda prajurit dari Kadipaten Pajang. Suasana pendapa Kademangan Mangir yang tadinya sudah sepi, karena tamu berangsur-angsur meninggalkan kademangan, mendadak mendengar suara gemuruh decak kaki kuda yang menapakkan kakinya di tanah.
Debu mengepul, para among tamu segera berlari memberitahu ki Ageng ada tamu agung dari Pajang. Ki Ageng Wanabaya segera mendatangi tamunya didepan pintu, dan bahkan disambut dengan gamelan Galaganjur, semua orang yang ada didalam sasana rinengga dan sampai dirumah belakang terkejut dan gempar karena ada tamu agung yang datang. Kemudian dengan terbata-bata dan gugup ki Ageng menyambut tamu yang satu ini dengan perlakuan yang sangat istimewa. Bunyi gamelan dikumandangkan, dan gendhing subakastawa berikutnya.
Tamu agung yang baru datang ini duduk di tengah di kanan dan kirinya banyak tamu, kemudian hidangan secara beruntun dikeluarkan, kemudian Ki Ageng Wanabaya, menyapa tamunya :” inggih kyai panduka priyagung pundi, sinten kekasih tuwan “ ( maaf kyai, anda datang darimana, dan siapakah nama anda).
Sang tamu ini menjawab ;” saking Kembanglampir anggèr, araningsun Demang Melaya, tuwi ing pakenira “ (aku dari Kembanglampir, namaku Demang Melaya [3], aku memang ingin menemuimu).
Ki Ageng selaku tuan rumah merasa bangga karena mendapat tamu kehormatan seorang Demang. Segala macam hidangan dikeluarkan tiada yang tersisa, kemudian ki Ageng berkata;” suwawi paduka dhahar sawontening adhekah “ (silahkan dinikmati hidangan ala kadarnya “.
Ki Demang Melaya menganggukkan kepala seraya mengatakan;” manira luwih tarima (terima kasih). Ki Demang Melaya segera mengambil jenang dimasukkan dalam dhestar, juwadah dimasukkan dalam saku beskap, rengginang ditaruh pada keris dan semua busana lengkapnya Ki Demang Melaya mendapatkan masing-masing dari jenis suguhan yang dihidangkan.
Ki Ageng Wanabaya dalam hati bertanya-tanya, tamu yang satu ini lebih aneh dari tamu sebelumnya. Kenapa hidangan yang disajikan tidak dimakan, tetapi ditaruh pada busana dan kelengkapannya?
Kemudian bertanya pada tamunya :” ki sanak kadospundi ta pukulun, tan dhahar mung ingkang busana, sadaya dipunpeleti sawarnining dhaharan?” ( bagaimana tuan, mengapa yang makan bukan anda, tetapi justru pakaian anda, semuanya diberi hidangan?”).
Tamu aneh itu menjawab ;” jer iku kang sira suguh” ( bukankah gemerlap pakaian ini yang ingin kau beri hidangan). Kemudian Ki Demang Melaya yang sebenarnya adalah Sunan Kalijaga, membuka seluruh pakaiannya dan diletakan dekat hidangan, kemudian meninggalkan tempat pawiwahan tanpa berkata-kata.
Ki Ageng bengong beberapa saat, dalam sekejap tamu aneh ini sudah tidak kelihatan batang hidungnya.
[1] Busana jenis ini biasanya dikenakan oleh orang golongan kelas bawah
[2] Para pemuda yang mendapat tugas untuk memberikan higdangan kepada para tamu
[3] Ki Ageng Melaya adalah nama lain Sunan Kalijaga dalam beberapa serat seperti suluk Wujil, Suluk
Bonang.
SastraDiguna