Kontroversi penyebutan Gunung Jempol atau Bukit Telunjuk yang menjadi ikon Kab. Lahat, Sumatera Selatan masih menjadi perdebatan dari masyarakat setempat dan daerah-daerah sekelilingnya. Hal ini bukan tanpa alasan yang mendasar, jika objek ini dilihat lebih dekat maka tampak seperti bukit telunjuk. Seballiknya jika objek ini dilihat dari kejauhan terutama dari Kota Lahat maka objek ini akan tampak seperti Gunung Jempol.
Terlepas dari semua penyebutan tersebut, Bukit Telunjuk memiliki daya tarik tersendiri jika dibandingkan dengan bukit-bukit di barisan Bukit Barisan yang membentang sepanjang Pulau Sumatera. Bentuknya yang seperti manusia yang mengacungkan telunjuknya ke atas seolah memberikan pesan tersendiri bahwa masih ada kekuatan yang besar yaitu kekuatan Tuhan Yang Maha Esa.
Dari berbagai mitos yang berkembang di tengah masyarakat Lahat, Bukit yang terlihat seperti stupa candi itu merupakan peninggalan Kerajaan Sriwijaya pada masa pemerintahan Raja Cudamaniwarmadewa (Parameswara). Menurut dialog batin dengan sosok gaib, Raja Cudamaniwarmadewa atau Parameswara atau Iskandar Zulkarnaen Alamsyah atau juga Raja Si Gentar Alam, Gunung Jempol merupakan sebuah candi tempat dirinya berolah kanuragan sejak menjadi murid sosok gaib Dhapunta Hyang. “Pada waktu-waktu tertentu kita dapat berjumpa dengan sosok Dhapunta Hyang di Gunung jempol,” ucap sosok gaib Raja Si Gentar Alam.
Gunung Jempol juga tempat yang didatangi pertama kali ketika Parameswara kembali ke Swarna Dwipa (Sumatera) bersama isterinya yang dikenal dengan nama Puteri Rambut Selaka beserta pengikut-pengikut setia mereka. Kemudian, dari dialog batin dengan sosok gaib Puteri Rambut Selaka mengetahui bahwa di Gunung Jempol terdapat banyak peninggalan Kerajaan Sriwijaya terutama pada masa kepemimpinan suaminya. Seperti harta karun, naskah-naskah kuno (prasasti) yang ditulis pada dinding-dinding batu dengan huruf Palawa dan berbahasa Melayu Kuno. Namun ada juga yang bertuliskan huruf Arab gundul dan berbahasa Melayu Kuno.
Dalam tulisan ini bukan hal mistis yang akan dibahas, tetapi dengan pendekatan kajian ilmiah yang akan penulis uraikan. Asumsi penulis yang mencoba melepaskan diri dari bingkai kekuatan Tuhan. Pernyataan ini bukan berarti penulis melangkahi kekuatan Tuhan dan Ke Mahaan-Nya. Penulis beranggapan bahwa Bukit Jempol yang menjadi ikon Kab. Lahat bukanlah terbentuk secara kebetulan atau secara geologis. Melainkan dibuat oleh manusia, sehingga penulis berasumsi bahwa Bukit telunjuk adalah candi.
Dilihat dari strukturnya puncak Bukit Telunjuk mirip seperti stupa candi. Jika diamati dengan seksama stupa tersebut mirip dengan puncak stupa di Candi Borobudur. Selain fakta tersebut, dilihat dari satelit maka kedudukan Bukit Telunjuk berada di antara bukit-bukit yag membentang, hal ini memiliki kesamaan dengan Candi Borobudur yang posisinya berada di atas bukit.
Perhatikan bentuk Bukit Telunjuk mirip stupa Candi
Asumsi ini juga diperkuat dengan banyaknya penemuan bukti-bukti arkeologis kuno seperti artefak, dan peningalan kuno lainnya disekitar di wilayah Besemah. Hal yang menjadi kontroversi tersebut, selanjutnya menimbulkan pertanyaan besar, jika benar Bukit Telunjuk adalah candi, kapan berdirinya “Candi Telunjuk”? berdirinya “Candi Telunjuk” bersamaan dengan berjaya Kerajaan Sriwijaya sekitar abad ke VII Masehi. Kerajaan Sriwijaya yang berlokasi di Sumatera Selatan merupakan kerajaan Budha terbesar di Nusantara dan pusat transit bagi para biksu-biksu Budha belajar sebelum mereka belajar ke India. Sebagai pusat pengetahuan dan belajar bagi umat Budha maka terdapat pula pusat ritual keagamaan berupa candi. Seperti Halnya kedudukan masjid yang menjadi pusat pengetahuan dan ritual keagamaan bagi umat Islam.
Kerajaan Sriwijaya dikenal sebagai pusat pendidikan dan penlitian keagamaan. Dalam catatan perjalanan I-Thing seorang pelajar Cina yang dikutip oleh Uka Tjandrasasmita, menurutnya Sriwijaya pada waktu itu merupakan pusat Agama Budha merupakan tempat ideal untuk memperoleh bekal pengetahuan sebelum memasuki pergururan tinggi Nalanda di India.
Kedudukan Kerajaan Sriwijaya sebagai pusat pengetahuan dan ritual bagi agama Budha sangat mustahil tanpa adanya candi besar kala itu yang mampu menampung para biksu dari berbagai wilayah di luar Kerajaan Sriwijaya. Keberadaan “Candi Telunjuk” memberikan titik terang bagi kejayaan Kerajaan Sriwijaya. Dilihat dari lokasi, “Candi Telunjuk” yang dekat dengan Sungai Lematang juga ikut mempengaruhi keberadaannya, yang mana telah kita ketahui jalur transportasi melalui jalur air menjadi transportasi paling popular pada abad ke VII.
Tampak dari Kejauhan Bukit Telunjuk memiliki kemiripan dengan Candi Borobudur
Selanjutnya hal yang mungkin dirasa kebetulan atau tidak, keberadaan kawanan gajah yang banyak terdapat di kaki Bukit Telunjuk dan saat ini di bangun sekolah gajah. Keberadaan kawanan gajah juga mengidensifikasikan adanya kesakralan gajah di Lahat. Jika ditelususri kesakralan gajah tersebut ada kemiripan dengan kesakralannya bagi kerajaan-kerajaan Hindu-Budha di Indonesia.
Dalam Agama Buddha yang dilambangkan sebagai roda bundar (Cakra), atau lambang gajah yang diartikan sebagai kumpulan lengkap seluruh aliran-aliran agama Buddha. Gajah bertaring 6 adalah hewan yang datang dalam mimpi Ratu Maha Maya memasuki rahim Ratu sebelum mengandung Pangeran Sidarta Gautama. Selain itu, kisah Gajah Parileyyaka yang membantu Sang Buddha ketika Sang Buddha sendirian di hutan.Tapi di India, gajah adalah lambang kekuatan dan merupakan kendaraan yang digunakan oleh raja dan ratu. Tidak mengherankan jika gajah-gajah di kaki Bukit Telunjuk menjadi sakral. Selain kesakralan tersebut gajah juga menjadi alat transportasi bagi para biksu-biksu Budha yang akan belajar di “Candi Telunjuk”.
“Candi Telunjuk” yang menjadi basis sentral pendidikan dan penelitian ritual keagamaan kala itu melahirkan sarjana-sarjana yang cerdas. Tidak mengherankan jika kini generasi-generasi Kab. Lahat memiliki intelegensi yang tinggi dan cerdas. Argument ini bukanlah berangkat dari statemen kesukuan dan tanpa landasan, pada dekade tahun 80-an Kab. Lahat menjadi basis pendidikan di Sumatera Selatan banyak pelajar dari berbagai daerah dan luar provinsi belajar di Kota Lahat. Tapi sayang, pada saat ini perhatian pemerintah Kab. Lahat dirasa sangat kurang. Semoga pemerintah Kab. Lahat mampu belajar dari kemegahan “Candi Telunjuk”.
Bukit Telunjuk dan Candi Borobudur dalam pencitraan Satelit
Terlepas dari semua itu, tulisan ini hanyalah kajian awal. Masih perlu dikaji dan diteliti lebih mendalam dengan menggunakan pengetahuan dan teknologi modern. Serta peran para arkeolog, pemerintah dan ahli-ahli sejarah sangatlah dibutuhkan untuk memecahkan teka-teki ini.
Sumber:
Uka Tjandrasasmita.2009. Arkeologi Islam Nusatara. Jakarta: Gramedia
Abdullah Idi, Kerajaan Sriwijaya: Nilai-nilai Strategis da Implikasinya terhadap kebijakan otonomi Daerah, dalam Zulkifli dan Abdul Karim Nasution.2001. Islam dalam Sejarah dan Budaya Masyarakat Sumatera Selatan. Palembang: Universitas Sriwijaya
Gambar dari Google, dan Google Map
Ravico