Beranda » Soekarno Menuju Lingkungan Kawat Berduri

Soekarno Menuju Lingkungan Kawat Berduri




PASCA kemerdekaan, Belanda kembali menyerang Indonesia lewat agresi militer. Dalam serangan militernya, banyak sekali pertumpahan darah di kubu rakyat Indonesia dan Belanda.
Serangan dadakan militer Belanda tersebut, nyaris membuat Indonesia kembali ke masa penjajahan setelah agresor berhasil menangkap Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta serta sejumlah kabinet pada 19 Desember 1948.
Setelah ditangkap, mereka dibawa ke Sumatera. Mereka diterbangkan dengan pesawat bomber B 25 dan mendarat di Pangkal Pinang. Selain Soekarno dan Mohammad Hatta, sejumlah tokoh lainnya yang ikut ditangkap seperti H Agus Salim, dan Syahrir yang kemudian dibawa ke Brastagi Sumatera Utara.
Mengenai peristiwa ini, Bung Karno bercerita: "Berastagi berarti mengalami kehidupan Bengkulu lagi. Hanya ada beberapa perbedaan. Satu: mereka tidak menamakannya pengasingan. Sekarang istilahnya 'penjagaan untuk keselamatan'.
Dua: kami dijauhkan dari istri kami. Dan tiga: kami berada di dalam lingkungan kawat berduri dua lapis dan antara rumah kami dengan kawat berduri enam orang pakai senapan mondar-mandir secara bersambung. Wanita yang memasakkan kami senang kepadaku. Di sore hari kedua kami di sana, dia menyelundup ke kamarku dengan gemetar ketakutan.
'Pak' katanya menggigil, "Saya tadi menanyakan, apa yang akan saya masak untuk Bapak besok dan opsir yang bertugas menyatakan, Tidak perlu. Soekarno akan dihukum tembak besok pagi.' Malam itu penakluk kami menyadari, bahwa Berastagi tidak bisa dipertahankan.
Tiba-tiba berhembuslah perubahan yang besar dalam rencana dan esok paginya di waktu subuh mereka memindahkan kami.
Belanda juga tidak menyediakan waktu untuk membunuhku. Berangkatlah rombongan orang buangan menuju Prapat yang terletak di pinggir Danau Toba.
Semenjak aksi militer pertama Belanda telah menduduki daerah semenanjung kecil ini, yang ditumbuhi oleh pinus yang segar baunya dan sejak itu tetap bertahan di sana. Sebelum perang tempat ini telah dipergunakan sebagai tempat istirahat orang Belanda. Rumahnya indah dan cantik.
Dan rumah kami letaknya di ketinggian di ujung semenanjung di atas tebing yang curam menghadap ke danau. Sangat indah pemandangan itu. Pun sukar untuk dimasuki. Di tiga sisi dia dikelilingi oleh air. Di belakang rumah adalah daratan dengan jalan yang berkelok-kelok."
Di Prapat terjadi hal-hal yang kurang enak. Pertama hubungan Soekarno-Sjahrir tiba-tiba berubah kurang baik. Dan pada tanggal 18 Januari Sjahrir diundang Perdana Menteri Drees ke Jakarta.
Tanggal 5 Februari Soekarno dan Agus Salim dipindahkan dari Prapat. Mereka dibawa ke Muntok, Bangka; terpisah dari Hatta dan tahanan lainnya yang ditempatkan di Menumbing.
Hatta menulis dalam Memoir-nya demikian: "Tanggal 5 Januari, hari Rabu, kami mendengar berita, bahwa Perdana Menteri Drees sudah sampai ke Jakarta. Katanya dia akan meresmikan Pemerintah Peralihan. Tidak lama sesudah itu kami dengar, bahwa Syahrir diminta datang ke Jakarta dari Prapat. Dan setelah diadakan pembicaraan dengan mereka, Syahrir tinggal saja di Jakarta. Dia tidak kembali ke Prapat. Kejadian itu kami bicarakan di Menumbing.
Ketika itu aku tegaskan pendirianku, kalau aku diminta datang ke Jakarta aku akan menolak. Bukan aku yang mau bicara dengan Perdana Menteri Drees, tetapi mungkin ia yang perlu dengan aku. Sebab itu dia mesti datang ke Bangka.
Sangat kebetulan, bahwa keesokan harinya seorang pembesar Belanda datang untuk menyampaikan permintaan Drees, supaya aku menjumpainya di Jakarta. Kalau aku tak salah ingat namanya Mr. Gibben. Aku menjawab bahwa Perdana Menteri Drees yang memerlukan aku, sebab itu ia harus datang ke Bangka.
Lalu dijawabnya, bahwa PM Drees itu usianya sudah lanjut, jadi berat baginya untuk datang dari Jakarta ke mari. 'Jikalau berat bagi dia untuk datang kemari, ia singgah saja nanti sebentar, kalau ia kembali ke Nederland,' kataku.
Aku tetap menolak untuk pergi ke Jakarta. Sementara itu kami mendengar berita radio, bahwa anggota KTN Cochran berangkat ke Amerika Serikat.
Hal itu kami bahas. Apakah dia pergi ke sana untuk meminta Kementerian Luar Negeri memberi tekanan kepada Belanda untuk mempercepat penyelesaian masalah Indone­sia?" [] sumber : sejarahkita

PASCA kemerdekaan, Belanda kembali menyerang Indonesia lewat agresi militer. Dalam serangan militernya, banyak sekali pertumpahan darah di kubu rakyat Indonesia dan Belanda.

Serangan dadakan militer Belanda tersebut, nyaris membuat Indonesia kembali ke masa penjajahan setelah agresor berhasil menangkap Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta serta sejumlah kabinet pada 19 Desember 1948.
Setelah ditangkap, mereka dibawa ke Sumatera. Mereka diterbangkan dengan pesawat bomber B 25 dan mendarat di Pangkal Pinang. Selain Soekarno dan Mohammad Hatta, sejumlah tokoh lainnya yang ikut ditangkap seperti H Agus Salim, dan Syahrir yang kemudian dibawa ke Brastagi Sumatera Utara.
Mengenai peristiwa ini, Bung Karno bercerita: "Berastagi berarti mengalami kehidupan Bengkulu lagi. Hanya ada beberapa perbedaan. Satu: mereka tidak menamakannya pengasingan. Sekarang istilahnya 'penjagaan untuk keselamatan'.
Dua: kami dijauhkan dari istri kami. Dan tiga: kami berada di dalam lingkungan kawat berduri dua lapis dan antara rumah kami dengan kawat berduri enam orang pakai senapan mondar-mandir secara bersambung. Wanita yang memasakkan kami senang kepadaku. Di sore hari kedua kami di sana, dia menyelundup ke kamarku dengan gemetar ketakutan.
'Pak' katanya menggigil, "Saya tadi menanyakan, apa yang akan saya masak untuk Bapak besok dan opsir yang bertugas menyatakan, Tidak perlu. Soekarno akan dihukum tembak besok pagi.' Malam itu penakluk kami menyadari, bahwa Berastagi tidak bisa dipertahankan.
Tiba-tiba berhembuslah perubahan yang besar dalam rencana dan esok paginya di waktu subuh mereka memindahkan kami.
Belanda juga tidak menyediakan waktu untuk membunuhku. Berangkatlah rombongan orang buangan menuju Prapat yang terletak di pinggir Danau Toba.
Semenjak aksi militer pertama Belanda telah menduduki daerah semenanjung kecil ini, yang ditumbuhi oleh pinus yang segar baunya dan sejak itu tetap bertahan di sana. Sebelum perang tempat ini telah dipergunakan sebagai tempat istirahat orang Belanda. Rumahnya indah dan cantik.
Dan rumah kami letaknya di ketinggian di ujung semenanjung di atas tebing yang curam menghadap ke danau. Sangat indah pemandangan itu. Pun sukar untuk dimasuki. Di tiga sisi dia dikelilingi oleh air. Di belakang rumah adalah daratan dengan jalan yang berkelok-kelok."
Di Prapat terjadi hal-hal yang kurang enak. Pertama hubungan Soekarno-Sjahrir tiba-tiba berubah kurang baik. Dan pada tanggal 18 Januari Sjahrir diundang Perdana Menteri Drees ke Jakarta.
Tanggal 5 Februari Soekarno dan Agus Salim dipindahkan dari Prapat. Mereka dibawa ke Muntok, Bangka; terpisah dari Hatta dan tahanan lainnya yang ditempatkan di Menumbing.
Hatta menulis dalam Memoir-nya demikian: "Tanggal 5 Januari, hari Rabu, kami mendengar berita, bahwa Perdana Menteri Drees sudah sampai ke Jakarta. Katanya dia akan meresmikan Pemerintah Peralihan. Tidak lama sesudah itu kami dengar, bahwa Syahrir diminta datang ke Jakarta dari Prapat. Dan setelah diadakan pembicaraan dengan mereka, Syahrir tinggal saja di Jakarta. Dia tidak kembali ke Prapat. Kejadian itu kami bicarakan di Menumbing.
Ketika itu aku tegaskan pendirianku, kalau aku diminta datang ke Jakarta aku akan menolak. Bukan aku yang mau bicara dengan Perdana Menteri Drees, tetapi mungkin ia yang perlu dengan aku. Sebab itu dia mesti datang ke Bangka.
Sangat kebetulan, bahwa keesokan harinya seorang pembesar Belanda datang untuk menyampaikan permintaan Drees, supaya aku menjumpainya di Jakarta. Kalau aku tak salah ingat namanya Mr. Gibben. Aku menjawab bahwa Perdana Menteri Drees yang memerlukan aku, sebab itu ia harus datang ke Bangka.
Lalu dijawabnya, bahwa PM Drees itu usianya sudah lanjut, jadi berat baginya untuk datang dari Jakarta ke mari. 'Jikalau berat bagi dia untuk datang kemari, ia singgah saja nanti sebentar, kalau ia kembali ke Nederland,' kataku.
Aku tetap menolak untuk pergi ke Jakarta. Sementara itu kami mendengar berita radio, bahwa anggota KTN Cochran berangkat ke Amerika Serikat.
Hal itu kami bahas. Apakah dia pergi ke sana untuk meminta Kementerian Luar Negeri memberi tekanan kepada Belanda untuk mempercepat penyelesaian masalah Indone­sia?" [] sumber : sejarahkita





Powered by Blogger.