Untuk kedua kalinya, aksi militer Belanda telah membuahkan bencana militer dan politik bagi Belanda sendiri.
Suasana Yogyakarta masih aman, namun pada pertengahan Desember 1948 itu Panglima Besar Soedirman punya firasat bakal terjadi keadaan genting. Meskipun selama beberapa bulan masih terbaring lantaran sakit, dia bertekad memegang kembali komando Angkatan Perang Republik Indonesia.
Bagaimana mungkin Yogyakarta sebagai Ibu Kota Republik Indonesia dinyatakan tidak aman. Buktinya, saat itu beberapa anggota Komisi Tiga Negara dan perwakilan dari Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) tengah berada di Kaliurang, sekitar 30 kilometer dari pusat kota. Selain masih dalam pengawasan komisi PBB, Republik juga masih berada dalam pelaksanaan perjanjian Renville.
Kenyataannya firasat Soedirman terbukti benar. Dua hari kemudian, di bawah komando Jenderal Simon Spoor, pesawat-pesawat Mustang dan Kittyhawk berputar-putar di langit Maguwo, lalu menelurkan bom di kawasan lapangan udara Maguwo.
Lalu, diikuti pesawat-pesawat Dakota dari lapangan udara Andir, Bandung yang menebarkan pasukan penerjunnya di langit timur Yogyakarta. Serangan mendadak itu berlangsung kurang dari setengah jam. Pada siang harinya Yogyakarta dapat dikuasai dengan mudah.
Sebuah catatan harian Monsignor A.Soegijapranata SJ, seorang uskup pribumi Indonesia pertama, yang dikutip Julius Pour dalam buku “Doorstoot Naar Djokja” memperlihatkan suasana pusat Kota Yogyakarta yang mencekam ketika Sang Romo berada di Gereja Bintaran.
“...sekitar pukul 10.00 pagi Belanda mulai mendatangkan tiga pesawat pembom. Sesudah berputar di atas kota, mereka menjatuhkan bom, terus menerus berjatuhan, susul-menyusul meledak, tanpa reda. Di mana-mana terdengar deru mesin pesawat terbang, bunyi tembakan senapan, rentetan ledakan senapan mesin berikut dentuman meriam. Sejumlah pengungsi mulai masuk ke Pasturan Bintaran...”
Bung Karno yang rencananya pagi itu berangkat bersama rombongan ke India atas undangan Perdana Menteri Jawaharlal Nehru pun mendadak dibatalkan.
Para pemimpin sipil Republik Indonesia seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, tampaknya membiarkan dirinya untuk ditangkap dengan konsekuensi diasingkan. Mereka berpikir secara diplomatis dengan harapan penangkapan ini akan menggugah opini internasional tentang peristiwa pendudukan militer itu.
Di sisi lain, para pemimpin militer Republik tidak memahami pemikiran pemimpin sipil mereka, sehingga berkomitmen menghadapi serangan Belanda dengan perang gerilya. Terjadilah pertikaian pimpinan sipil dan militer Republik Indonesia.
“Pihak tentara saat itu menganggap dirinya sebagai satu-satunya penyelamat Republik,” tulis Merle Calvin Ricklefs dalam bukunya “A History of Modern Indonesia”.
Ricklefs yang kini guru besar di National University of Singapore juga berpendapat bahwa hal ini merupakan bencana militer maupun politik bagi Belanda, meski tampaknya Belanda mudah mendapat kemenangan militernya atas Republik. Akibat penyerangan sepihak itu Dewan Keamanan PBB tersinggung karena merasa kehormatannya tidak diakui Belanda. Sementara itu, Amerika Serikat juga memutus dana bantuan kepada sekutunya sendiri, Belanda.
Bagi Republik Indonesia, peristiwa “aksi polisional” itu lebih dikenal sebagai “Agresi Militer Belanda II” yang justru memberikan keuntungan diplomatik bagi keberadaan negara Indonesia di mata dunia internasional. Sebaliknya, jika serangan “Operasi Gagak” itu berhasil, nama Republik ini tak akan ada lagi di peta.
(Mahandis Y.Thamrin)
Bagaimana mungkin Yogyakarta sebagai Ibu Kota Republik Indonesia dinyatakan tidak aman. Buktinya, saat itu beberapa anggota Komisi Tiga Negara dan perwakilan dari Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) tengah berada di Kaliurang, sekitar 30 kilometer dari pusat kota. Selain masih dalam pengawasan komisi PBB, Republik juga masih berada dalam pelaksanaan perjanjian Renville.
Kenyataannya firasat Soedirman terbukti benar. Dua hari kemudian, di bawah komando Jenderal Simon Spoor, pesawat-pesawat Mustang dan Kittyhawk berputar-putar di langit Maguwo, lalu menelurkan bom di kawasan lapangan udara Maguwo.
Lalu, diikuti pesawat-pesawat Dakota dari lapangan udara Andir, Bandung yang menebarkan pasukan penerjunnya di langit timur Yogyakarta. Serangan mendadak itu berlangsung kurang dari setengah jam. Pada siang harinya Yogyakarta dapat dikuasai dengan mudah.
Sebuah catatan harian Monsignor A.Soegijapranata SJ, seorang uskup pribumi Indonesia pertama, yang dikutip Julius Pour dalam buku “Doorstoot Naar Djokja” memperlihatkan suasana pusat Kota Yogyakarta yang mencekam ketika Sang Romo berada di Gereja Bintaran.
“...sekitar pukul 10.00 pagi Belanda mulai mendatangkan tiga pesawat pembom. Sesudah berputar di atas kota, mereka menjatuhkan bom, terus menerus berjatuhan, susul-menyusul meledak, tanpa reda. Di mana-mana terdengar deru mesin pesawat terbang, bunyi tembakan senapan, rentetan ledakan senapan mesin berikut dentuman meriam. Sejumlah pengungsi mulai masuk ke Pasturan Bintaran...”
Bung Karno yang rencananya pagi itu berangkat bersama rombongan ke India atas undangan Perdana Menteri Jawaharlal Nehru pun mendadak dibatalkan.
Para pemimpin sipil Republik Indonesia seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, tampaknya membiarkan dirinya untuk ditangkap dengan konsekuensi diasingkan. Mereka berpikir secara diplomatis dengan harapan penangkapan ini akan menggugah opini internasional tentang peristiwa pendudukan militer itu.
Di sisi lain, para pemimpin militer Republik tidak memahami pemikiran pemimpin sipil mereka, sehingga berkomitmen menghadapi serangan Belanda dengan perang gerilya. Terjadilah pertikaian pimpinan sipil dan militer Republik Indonesia.
“Pihak tentara saat itu menganggap dirinya sebagai satu-satunya penyelamat Republik,” tulis Merle Calvin Ricklefs dalam bukunya “A History of Modern Indonesia”.
Ricklefs yang kini guru besar di National University of Singapore juga berpendapat bahwa hal ini merupakan bencana militer maupun politik bagi Belanda, meski tampaknya Belanda mudah mendapat kemenangan militernya atas Republik. Akibat penyerangan sepihak itu Dewan Keamanan PBB tersinggung karena merasa kehormatannya tidak diakui Belanda. Sementara itu, Amerika Serikat juga memutus dana bantuan kepada sekutunya sendiri, Belanda.
Bagi Republik Indonesia, peristiwa “aksi polisional” itu lebih dikenal sebagai “Agresi Militer Belanda II” yang justru memberikan keuntungan diplomatik bagi keberadaan negara Indonesia di mata dunia internasional. Sebaliknya, jika serangan “Operasi Gagak” itu berhasil, nama Republik ini tak akan ada lagi di peta.
(Mahandis Y.Thamrin)