Beranda » FAKTA MAJAPAHIT, GAJAH MADA DAN ISLAM

FAKTA MAJAPAHIT, GAJAH MADA DAN ISLAM



Fakta Majapahit, Gajah Mada dan Islam
QUESTION 14 : Kerajaan Majapahit berhasil menyatukan wilayah Indonesia karena kehebatan Patih Gajahmada yang terkenal dengan Sumpah Palapa-nya.
(A. SETUJU B. TIDAK SETUJU). —
Penjajah berkepentingan untuk mengubur Islam sebagai akar budaya nasional dan menggantinya dengan Hindu (atau selain Islam). Sehingga dilakukan berbagai usaha seperti penyimpangan sejarah dan mengangkat budaya dan tradisi hinduisme sebagai akar budaya nasional, misalnya membongkar kembali borobudur dan prambanan yg sudah hancur dan terkubur dll.

Kepentingan kolonialisme sebagaimana kita mafhum adalah penyebaran ajaran Kiristen (Gospel) serta motivasi balas dendam atas kekalahan Kristen dalam perang Sabil (salib). Sehingga apapun yang berbau Islam dimusnahkan.
Demikian pula, Majapahit dan hinduisme diangkat terus serta dipaksakan dalam penulisan sejarah sebagai cikal bakal dan nenek moyang bangsa. Padahal tidak demikian.
Oleh karena itu, cobalah tanyakan kepada anak2 kita sekarang, apakaha meraka mengenal Raden Fatah, Raja Muslim pertama di Tanah Jawa. Raden Patah adalah putra Raja Majapahit, sekaligus santri dari Sunan Ampel. Tanyakan kepada para Siswa di Sekolah2 Islam, apakah mereka mengenal dan mengagumi Sultan Agung yang mengirimkan tentaranya dari Yogyakarta ke Jakarta untuk mengusir penjajah Portugis?
Tapi, kita dan anak2 kita dicekoki sebuah cerita bahwa Nusantara pernah disatukan oleh Gajah Mada. Bahwa kerajaan Hindu itulah yang berhasil yang berhasil menyatukan Nusantara. Sehingga opini yang disampaikan kepada anak2 kita tampaknya: “Islam datang untuk menghancurkan kejayaan Indonesia yang sudah berhasil dibangun oleh Majapahit!”
Sebab, setelah itu – sebagaimana digambarkan dalam buku pelajaran sejarah – muncul kerajaan2 Islam yg tdk pernah berhasil menjelma menjadi kerajaan nasional, sebagaimana Sriwijaya dan Majapahit. Jadi, Islam digambarkan sebagai faktor yg tdk kondusif sebagai “pemersatu Indonesia”. Dengan kata lain, Indonesia hanya bisa disatukan bukan dengan Islam, tetapi dengan ideologi lain, apakah ateisme, animisme, atau sekularisme. Pada akhirnya sampai saat ini msh byk yg phobi kepada syariat Islam.
Padahal, coba diperiksa dan pertanyakan; kapan Majapahit benar2 berhasil menyatukan Nusantara, wilayahnya sampai mana, dengan cara apa Majapahit menyautkan Nusantara? katanya, Gajah Mada pernah bersumpah, namanya Sumpah Palapa! Apakah sumpah seseorang bisa dijadikan bukti bahwa dia berhasil mewujudkan sumpahnya?
Prof. C.C. Berg, termasuk yg mengkritik upaya pengkultusan dan pemitosan kebesaran majapahit. (Maret 1952)
Mitos kebesaran dan keruntuhan Majapahit banyak dikisahkan dalam kitab Darmogandul (kitab yang isinya penuh penghinaan terhadap Islam, Nabi Muhammad dan Al-Qur’an) yang juga meratapi keruntuhan Majpahit dan mencerca para penyebar Islam di Tanah Jawa (Wali Songo).
Serat Darmogandul begitu menggebu-gebu menyerang Islam dan mengharapkan orang jawa berganti agama, dengan meninggalkan Islam. (Lihat, Anonim. Darmogandul. Cet IV. Kediri: Penerbit Tan Khoen Swie, 1955)
Setelah diteliti ternyata serat Darmogandul merupakan karya dari seorang Kristen bernama Ngabdullah Tunggul Wulung atau dikenal dengan nama baptis Ibrahim Tunggul Wulung. Ngabdullah merupakan sosok yang intens bersentuhan dengan sejumlah pendeta Kristen Belanda.
maka jelas nampak benang merah antara upaya mengunggulkan Majapahit dengan kolonialisme.
Hidayatullah.com–DISAMPING banyak berisi penghinaan melalui pemaknaan istilah Islam dengan ungkapan-ungkapan jorok, ternyata Darmagandul juga berisi banyak kisah-kisah yang bersumber dari Bible. Lebih dari itu, ungkapan-ungkapan di dalamnya berisi ajakan untuk meninggalkan ajaran Islam dengan memeluk ajaran Kristen.
Di sisi lain, Darmagandul sendiri banyak memiliki cacat ilmiah. Baik itu karena ada kesalahan dalam data sejarah, kontroversi mengenai identitas penulisnya atau karena karya lain yang menjadi rujukan dalam penulisannya sendiri amat bermasalah.
Namun anehnya, ada pihak-pihak yang masih menjadikan Darmagandul sebagai sumber sejarah dan diperlakukan sebagaimana layaknya sebuah karya ilmiah. Nah, bagaimana pemaparan selengkapnya?
Tulisan ini lanjutan dari tulisan sebelumnya berjudul: “Otak-Atik Gathuk” Serat Darmagandul [1]
***
Dalam Darmagandul, wali diartikan sebagai walikan (kebalikan). Artinya, para ulama Walisongo telah diberi kebaikan namun kemudian membalas dengan keburukan.
“Punika sadat sarengat, tegese sarengat niki, yen sare wadine njengat, tarekat taren kang estri, hakekat nunggil kapti, kedah rujuk estri kakung, makripat ngretos wikan, sarak sarat laki rabi, ngaben ala kaidenna yayah rina.”
Artinya, ”Lapal semacam itu adalah dinamakan syahadat Syari’at. Sarengat artinya, kalau sare (tidur) kemaluannya jengat (berdiri). Ada perkataan lain yang selalu dihubungkan dengan sarengat, yaitu tarekat, hakekat, dan ma’ripat. Tarekat artinya taren (bertanya, minta setubuh) kepada isteri, hakekat artinya: bersama selesai, lelaki dan wanita harus rukun (solider), ma’ripat artinya: mengerti, yakni mengetahui sarat pernikahan, dan dilakukan di waktu siang juga boleh.”
Demikianlah Serat Darmagandul berbicara mengenai beberapa istilah Islam dan memlesetkannya menjadi ungkapan-ungkapan jorok yang sama sekali jauh dari arti yang sesungguhnya. Hal ini ditunjukkan oleh Prof. H.M. Rasjidi dalam buku “Islam dan Kebatinan”.
Ungkapan uthak-athik gathuk yaitu usaha menghubung-hubungkan sejumlah istilah yang sebenarnya tidak memiliki hubungan dengan permainan kata-kata agar sesuai dengan kepentingan yang menjadi misinya yang merendahkan Islam banyak dijumpai di Serat Darmagandul. Disamping berbicara mengenai syari`at, tarekat, hakikat atau ma`rifat, ia juga berbicara mengenai Al-Qur`an beserta para rasul.
Al-Qur`an sendiri “ditafsirkan” secara serampangan dengan plesetan. Misalnya, dalam penafsiran Surat Al Baqarah, penulis Darmagandul mengungkapnkan sebagai berikut:
“Tetep ing alame lama, kasebut Dalil Kurani, alip lam mim, dallikale kitabul rahepa pami, lara hudan lilmuttakin, waladina tegesipun, alip punika sastra, urip boten kenging pati, lami-lami mung ngangge alame lama. Alame lam mim dallikal, yen turu nyengkal ing wadi, tegesipun kitabulla,natab mlebu ala wadi,tegese rahabapi, rahaba kang nganggo sampur, hudan lil muttakiina, yen wus wuda jalu estri, den mutena wadi ala jroning ala.”
Artinya, ”Tersebut dalam Al-Qur`an: Alif Lam Mim, dzalikal kitabu la raiba fihi, hudan lilmuttaqien, alladzina …artinya: (menurut Damogandul) Dzalikal, jika tidur kemaluannya nyengkal (berdiri) kitabu la; kemaluan lelaki masuk di kemaluan perempuan dengan tergesa-gesa; raiba fihi perempuan yang pakai kain; hudan; telanjang (bahasa Jawa: wuda) Lil muttaqien; sesudah telanjang kemaluan lelaki termuat dalam kemaluan wanita … “
Utak-atik kata dari istilah-istilah, yang bertujuan merendahkan Islam dan para utusan Allah bisa juga ditemui di bagian lain dari Darmagandul:
“Niku agami muchammad, saminipun agamine Nuh Nabi, nuh neh remeh kawruhipun, niku nabine bocah, remen rumat abang kuning nedi tuwuk, …”
Artinya, “Itu agama Muhammad, sama dengan agama Nabi Nuh, Nuh adalah remeh pengetahuannya, itu nabinya untuk anak-anak (kekanak-kanakan), suka menyimpan merah kuning (maksudnya: sifat tercela) dan makan kenyang …”
Walhasil, cara pembahasan yang digunakan dalam Darmagandul tidak memiliki patokan metodologi yang jelas dan hanya menyandarkan pada teknik otak-atik gathuk. Dari upaya-upaya yang didukung dengan teknis yang tidak elegan ini, secara jelas telah menunjukkan bahwa Serat Darmagandul memang sekedar ditulis untuk sebuah “permainan” dalam artian perbuatan yang tidak bertanggungjawab. Oleh karena itu, seharusnya sukar menjadi referensi kepustakaan yang bersifat ilmiah, apalagi menjadi sebuah ajaran.
Ada Bible di Darmagandul
Marginalisasi ajaran Islam dilakukan penulis Darmagandul dengan menyatakan bahwa hukum dalam Al-Qur`an sudah tidak berlaku dan sebagai gantinya adalah hukum Kristen.
“Panjenengan Nabi Dawud, putranira kang tuwa, Abe Salam ingkang nami, mungsuh bapa anggege keprabonira. Dawud kengser saking praja, Abe Salam kang gumanti, sawise antara warsa, Nabi Dawud sarta dasih, wangsul amukul nagri, Sang Abe Salam lumayu, angungsi wana-wana, ginawa mbandang turanggi, pan kecantol tenggaknja oyoding wreksa. Kudane mberung lumajar, Abe Salam iku kari, tenggaknya ketjantol lata, gumatung wreksa ngemasi, iku kukume Widi, yen wong mungsuh bapa ratu…”
Itulah sepenggal kisah dari Serat Darmagandul yang mengisahkan tentang perebutan kekuasaan antara Nabi Dawud dan Absalom, puteranya. Demikian terjemahnya lengkapnya, “Putra Nabi dawud yang tua bernama Absalom, melawan ayahnya untuk merebut tahta. Dawud terusir dari istana dan Absalom menggantikannya sebagai raja. Setelah beberapa tahun Dawud kemudian menyerang Absalom dan berhasil merebut negerinya. Absalom melarikan diri dengan mengendarai kuda. Kudanya terus berlari kencang meskipun kepala Absalom menyangkut di dahan pohon, itulah hukum Tuhan, jika anak bermusuhan dengan ayahnya yang seorang raja…”
Kisah kedurhakaan putra Dawud di atas tarnyata hanya dapat dijumpai dari kitab II Samuel pasal 15 hingga 18. Kisah lain adalah cerita Darmagandul bahwa Nabi Dawud menghendaki (berzina) dengan Batsyeba, istri bawahannya yang bernama Uria. Dawud kemudian membuat muslihat agar Uria maju ke barisan terdepan medan pertempuran. Harapannya, Uria akan terbunuh dalam peperangan dan Batsyeba dapat diperistri oleh Dawud. Sumber cerita ini dapat ditelusur berasal dari II Samuel pasal 11 dan 12.
Penyisipan isi Bible ke dalam Darmagandul disamping menggunakan ungkapan yang amat gamblang seperti kasus di atas, terkadang juga menggunakan simbol-simbol. Sebagai contoh, adalah penggunaan ungkapan wit kawruh (pohon pengetahuan), wit kuldi (pohon Kuldi), dan wit budi (pohon budi). Wit kawruh digunakan sebagai simbol untuk mendeskripsikan Agama Nashrani, wit kuldi merupakan simbolisasi Agama Islam, dan wit Budi merepresentasikan “agama asli Jawa” yang oleh Darmagandul disebutkan sebagai Agama Budha. Hal ini dapat dilihat dalam contoh sebagai berikut:
“Lamun seneng neda woh wit budi, mituruta babon, Buda-Budi karan agamane, anyebuta Dewa Batara Di, Lamun seneng bukti, woh wit kajeng kawruh, Anyebuta asmane Jeng Nabi Isa kang kinaot, mituruta Gusti agamane, lamun seneng neda woh wit kuldi, njebuta Jeng Nabi Muhammad Rasulun.”
Artinya, “Jika suka memakan buah Pohon Budi, maka ikutilah induk, Agama Buda-Budi, Sebutlah nama Dewa Batara Di. Jika suka bukti, makanlah buah Pohon Pengetahuan, Sebutlah nama Nabi Isa yang termuat, turutilah Agamanya. Jika suka memakan buah Pohon Kuldi maka sebutlah nama Nabi Muhammad.”
Dari kutipan di atas telah cukup dimengerti bahwa istilah-istilah tersebut mewakili sebuah makna secara khusus. Ide penggunaan simbolisasi agama dengan meminjam nama “jenis pohon” dapat dilacak sumbernya sebagai berikut:
“Darmogandul matur, nyuwun diterangake bab enggone Nabi Adam lan Babu Kawa pada kesiku dening Pangeran, sabab saka enggone padha dhahar wohe kayu kawruh kang ditandur ana satengahing taman firdaus. Ana maneh kitab kang nerangake kang didhahar Nabi Adan lan Babu Kawa iku woh Kuldi, kang ditandur ana ing swarga. Mula nyuwun diterangake, yen ing kitab Jawa diceritaake kepriye, kang nyebutake kok mung kitab Arab lan kitabe wong Srani.”
Artinya, “Darmagandul berbicara, minta diterangkan bab cerita Nabi Adam dan Hawa yang dihukum oleh Pangeran, sebab telah memakan buah pohon pengetahuan yang ditanam di tengah taman firdaus. Ada lagi yang menerangkan bahwa yang dimakan Nabi Adam dan Hawa itu buah Kuldi, yang ditanam di Surga. Maka minta diterangkan, jika dalam kitab Jawa diceritakan bagaimana, yang menyebutkan mengapa hanya kitab Arab dan kitab Agama Nashrani.”
Ternyata, ide penggunaan istilah “wit kawruh” rupanya diperoleh pengarang Darmagandul dari kitab Suci Kristen. Hal ini dapat dilihat dalam Kejadian 2:16-17 sebagai berikut: “Lalu TUHAN Allah memberi perintah ini kepada manusia: “Semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan buahnya dengan bebas, tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati.”
Jika demikian faktanya, pengarang Serat Darmagandul bisa dipastikan merupakan penganut Kristen yang telah bersentuhan dengan sejumlah cerita Perjanjian Lama. Ide-ide dari kitab tersebut lantas diolah sehingga menghasilkan jalinan cerita dalam Serat Darmagandul. Tidak mengherankan jika kitab berbahasa Jawa berbau pornografi ini kental dengan kisah yang bersumber dari Perjanjian Lama.
Kedekatan Serat Darmagandul dengan Kekristenan ini diakui oleh sejumlah penulis dan akademisi. G. W. J. Drewes, orientalis Belanda, dalam tulisannya “The Struggle Between Javanism and Islam as Illustrated by Serat Dermagandul” di Jurnal BKI mengungkapkan bahwa buku ini menghadirkan term-term yang menunjukkan adanya pembahasan tentang ajaran Kristen di dalamnya. Philip Van Akkeren, orientalis Belanda lainnya, bahkan berspekulasi bahwa Darmagandul merupakan karya dari seorang Kristen bernama Ngabdullah Tunggul Wulung atau dikenal dengan nama baptis Ibrahim Tunggul Wulung. Ngabdullah merupakan sosok yang intens bersentuhan dengan sejumlah pendeta Kristen Belanda. Teori ini memang mampu menjelaskan keberadaan anasir Kristen dalam Serat Darmagandul. Namun ketidakjelasan argumentasi Van Akkeren dan ketidaksesuaian dengan sejumlah fakta, justru menguatkan bahwa teori ini lemah dan dapat dibantah.
Belakangan, teori Van Akkeren ini nampaknya mendapat dukungan. Bambang Noorsena, tokoh Kristen Orthodoks Syria (KOS), dalam bukunya “ Menyongsong Sang Ratu Adil: Perjumpaan Iman Kristen dan Kejawen”, senada dengan Van Akkeren menganggap bahwa Tunggul Wulung dimungkinkan merupakan pengarang serat tersebut.
Kristenisasi
Pengarang Serat Darmagandul sejak awal beritikad menampilkan bahwa agama Nashrani lebih unggul dibandingkan agama-agama lainnya. Motif ini dapat ditelisik, dimana Islam senantiasa ditampilkan dalam image negatif. Ajaran Kristen sendiri ditempatkan secara positif dalam gambaran sebagai berikut:
“… Kang diarani agama Srani iku tegese sranane ngabekti, temen-temen ngabekti mrang Pangeran, ora nganggo nembah brahala, mung nembah marang Allah, mula sebutane Gusti Kanjeng Nabi Isa iku Putrane Allah, awit Allah kang mujudake, …”
Artinya,”… Yang disebut agama Nashrani adalah sarana berbakti, benar-benar berbakti kepada Tuhan tanpa menyembah berhala, hanya menyembah Allah, maka sebutannya Gusti Kanjeng Nabi Isa itu Putra Allah, sebab Allah yang mewujudkan.”
Selain itu Serat Darmagandul juga mencoba mengetengahkan upaya marginalisasi ajaran Islam dengan menyatakan bahwa hukum dalam Al-Qur`an sudah tidak berlaku dan sebagai gantinya adalah hukum Kristen. Simak ungkapan berikut:
”Kitab ‘Arab djaman wektu niki, sampun mboten kanggo, resah sija adil lan kukume, ingkang kangge mutusi prakawis, kitabe Djeng Nabi, Isa Rahullahu.”
Artinya, “Kitab Arab pada jaman ini sudah tidak terpakai sebab hukumnya meresahkan dan tidak adil. Yang digunakan untuk memutuskan perkara adalah kitab Nabi Isa Rahullah.”
Adapun puncak dari seluruh motif dan kepentingan dalam penulisan buku Darmagandul digambarkan dalam suara kutukan roh Prabu Brawijaya terhadap Raden Patah sebagai berikut :
“…eling-elingen ing besuk, yen wis ana agama kawruh, ing tembe bakal tak wales, tak ajar weruh ing nalar bener lan luput, pranatane mengku praja, mangan babi kaya dek jaman Majapahit.”
Artinya, “Ingat-ingatlah besok, jika ada agama pengetahuan, maka akan kubalas, akan kuajari pengetahuan yang benar dan salah, peraturan tata negara, memakan babi seperti jaman Majapahit.”
Puncaknya, Serat Darmagandul ingin mengatakan bahwa Islam akan kalah oleh agama kawruh, dalam hal ini sebangun dengan pohon pengetahuan yang maksudnya adalah Kristen. Serat Darmagandul seolah-olah sedang memberikan ramalan masa depan bahwa Islam di Jawa akan ditundukkan oleh Kristen yang dianggap akan mengajar benar dan salah serta menghalalkan babi. Maka telah jelas bahwa penulisan Darmagandul sejak awal dimaksudkan guna kepentingan misi penginjilan, bukan kitab bagi kalangan kebatinan. */Susiyanto, SAHID



Powered by Blogger.