AP Photo/Ramon Espinosa
Orang-orang mengangkat tangan dalam upacara bersama pemimpin spiritual Maya, Kamis (6/12), di Bacuranao, Kuba. Ribuan orang di berbagai wilayah dunia meyakini dan bersiap menghadapi hari kiamat saat berakhirnya kalender Perhitungan Panjang Maya, 21 Desember mendatang. Sebaliknya, di pusat kebudayaan Maya di Meksiko, tak seorang pun bersiap menghadapi hari akhir. Mereka kini kebanjiran pengunjung spiritual. Kiamat 21 Desember 2012 bukanlah isu pertama soal tibanya hari akhir. Datangnya kiamat telah menjadi pertanyaan besar sepanjang peradaban manusia. Meski teks agama menegaskan tak seorang pun yang mengetahui, manusia terobsesi mencarinya. Ini wujud ketakutan manusia akan datangnya kematian.
Setidaknya, isu kiamat pernah muncul pada 9 September 1999 (9-9-99) saat kondisi politik dan ekonomi Indonesia kacau. Isu juga muncul saat perayaan 1 Januari 2000 dengan ancaman kegagalan sistem komputer global. Beberapa sekte keagamaan di Indonesia pernah berusaha melakukan bunuh diri massal demi menyongsong kiamat.
Guru Besar Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, Bambang Sugiharto, Kamis (13/12/2012), mengatakan, isu kiamat selalu muncul ketika manusia menghadapi banyak kejadian di luar kendalinya. Keterpurukan ekonomi, ketidakpastian politik, kegagalan akulturasi budaya, hingga adanya prediksi bencana katastropik walau belum tentu benar.
Saat manusia menghadapi hal baru yang tak bisa dipahami dan tak ada presedennya, isu kiamat muncul. Hadirnya perspektif baru sains, teknologi, media, hingga cara berkomunikasi membuat semua menjadi transparan. Menimbulkan keterkejutan sekaligus kekhawatiran.
Kondisi itu diperparah oleh ketidakmampuan pilar-pilar keyakinan atau sistem nilai untuk memahami gejala yang ada. Sejak Perang Dunia I dan II, skeptisme masyarakat muncul dan menimbulkan ketidakpercayaan pada peradaban modern. Interaksi global yang meluluhlantakkan nilai-nilai tradisional membuat batas kebaikan dan keburukan kian tipis.
”Ketidakpastian muncul hingga kini dan menimbulkan kepanikan,” katanya. Gejala kepanikan itu, antara lain, munculnya fanatisme berlebihan atas agama, etnik, atau kelompok.
Dosen Psikologi Sosial Universitas Gadjah Mada, Helly P Soetjipto, mengatakan, isu kiamat 2012 merupakan bagian dari manajemen teror, menakut-nakuti orang dengan kematian.
Isu ini hanya efektif untuk orang-orang di negara maju yang telah lama menikmati kesejahteraan dan orang-orang di Indonesia yang ekonominya mapan dan bisa menikmati hidup. Akan tetapi, isu kiamat akan gagal bagi orang pinggiran yang akrab dengan penderitaan.
”Di Indonesia, banyak orang berani mati, tetapi takut hidup,” katanya. Mereka yang terbiasa susah paling mudah beradaptasi saat bencana tiba. Sebaliknya yang terbiasa hidup enak, kesusahan adalah kiamat.
Helly menyatakan, kematian adalah misteri hidup yang pasti datang. Sayangnya, persiapan menghadapi kematian dilakukan lebih banyak dengan menumpuk materi. Cinta dunia membuat orang takut mati.
Persiapan menghadapi kematian juga terkait dengan pandangan manusia tentang mati, apakah sebagai terminal (akhir dari siklus hidup) atau hanya gerbang menuju ”hidup” baru.
Neurosains
Rasa cemas, khawatir, dan takut, termasuk takut atas mati, ada dalam setiap manusia. Rasa itu diatur dalam sistem limbik dalam otak bagian tengah yang mengatur hal-hal terkait emosi.
Sekretaris Jenderal Masyarakat Neurosains Indonesia yang juga dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi, Manado, Taufiq Pasiak, mengatakan, sistem limbik ada pada semua primata, termasuk manusia. Sistem ini tidak hilang meskipun otak manusia berevolusi dari manusia primitif hingga modern.
Untuk menjelaskan ketakutan yang tak bisa dijelaskan dalam dirinya, manusia mencari kekuatan di luar dirinya yang bersifat transendental. Hal itu membuat mereka tenang dan pusat kesenangan dalam otaknya tersentuh. Kesenangan merupakan fondasi rasa bahagia.
Sebelum ada agama, sesuatu yang transendental dicari pada benda-benda yang dianggap memiliki kekuatan, seperti pohon atau batu. Saat itu, kiamat belum dikenal. Sumber kesedihan adalah kematian dan bencana.
Setelah agama hadir, agama jadi pegangan. ”Dari agama, manusia memahami kematian dan mengenal istilah kiamat,” kata Taufiq yang menjadi pendiri Center for Neuroscience Health and Spirituality Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
Rasa takut itu bisa dinetralkan. Selain memiliki sistem limbik, manusia mempunyai sistem korteks di bagian depan otak manusia. Sistem korteks terkait dengan nalar dan logika.
Meskipun mendapat penjelasan tentang kematian dari agama, sistem korteks membantu merasionalkan rasa takut. Sistem korteks harus menjadi bagian utama saat menganalisis ketakutan. Jika yang memimpin sistem limbik, rasa takut akan memancing emosi yang mengharu biru.
Proses pendidikan Indonesia yang lebih menonjolkan aspek kognitif dan tidak mengembangkan nalar membuat proses berpikir rasional tidak terbangun.
”Lembaga pendidikan, keagamaan, pengembangan sains, dan pemerintah memiliki tanggung jawab yang sama dalam membangun masyarakat cerdas dan kritis hingga mampu menyaring semua informasi yang ada,” kata Guru Besar Psikologi Sosial UGM Faturochman.
Setidaknya, isu kiamat pernah muncul pada 9 September 1999 (9-9-99) saat kondisi politik dan ekonomi Indonesia kacau. Isu juga muncul saat perayaan 1 Januari 2000 dengan ancaman kegagalan sistem komputer global. Beberapa sekte keagamaan di Indonesia pernah berusaha melakukan bunuh diri massal demi menyongsong kiamat.
Guru Besar Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, Bambang Sugiharto, Kamis (13/12/2012), mengatakan, isu kiamat selalu muncul ketika manusia menghadapi banyak kejadian di luar kendalinya. Keterpurukan ekonomi, ketidakpastian politik, kegagalan akulturasi budaya, hingga adanya prediksi bencana katastropik walau belum tentu benar.
Saat manusia menghadapi hal baru yang tak bisa dipahami dan tak ada presedennya, isu kiamat muncul. Hadirnya perspektif baru sains, teknologi, media, hingga cara berkomunikasi membuat semua menjadi transparan. Menimbulkan keterkejutan sekaligus kekhawatiran.
Kondisi itu diperparah oleh ketidakmampuan pilar-pilar keyakinan atau sistem nilai untuk memahami gejala yang ada. Sejak Perang Dunia I dan II, skeptisme masyarakat muncul dan menimbulkan ketidakpercayaan pada peradaban modern. Interaksi global yang meluluhlantakkan nilai-nilai tradisional membuat batas kebaikan dan keburukan kian tipis.
”Ketidakpastian muncul hingga kini dan menimbulkan kepanikan,” katanya. Gejala kepanikan itu, antara lain, munculnya fanatisme berlebihan atas agama, etnik, atau kelompok.
Dosen Psikologi Sosial Universitas Gadjah Mada, Helly P Soetjipto, mengatakan, isu kiamat 2012 merupakan bagian dari manajemen teror, menakut-nakuti orang dengan kematian.
Isu ini hanya efektif untuk orang-orang di negara maju yang telah lama menikmati kesejahteraan dan orang-orang di Indonesia yang ekonominya mapan dan bisa menikmati hidup. Akan tetapi, isu kiamat akan gagal bagi orang pinggiran yang akrab dengan penderitaan.
”Di Indonesia, banyak orang berani mati, tetapi takut hidup,” katanya. Mereka yang terbiasa susah paling mudah beradaptasi saat bencana tiba. Sebaliknya yang terbiasa hidup enak, kesusahan adalah kiamat.
Helly menyatakan, kematian adalah misteri hidup yang pasti datang. Sayangnya, persiapan menghadapi kematian dilakukan lebih banyak dengan menumpuk materi. Cinta dunia membuat orang takut mati.
Persiapan menghadapi kematian juga terkait dengan pandangan manusia tentang mati, apakah sebagai terminal (akhir dari siklus hidup) atau hanya gerbang menuju ”hidup” baru.
Neurosains
Rasa cemas, khawatir, dan takut, termasuk takut atas mati, ada dalam setiap manusia. Rasa itu diatur dalam sistem limbik dalam otak bagian tengah yang mengatur hal-hal terkait emosi.
Sekretaris Jenderal Masyarakat Neurosains Indonesia yang juga dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi, Manado, Taufiq Pasiak, mengatakan, sistem limbik ada pada semua primata, termasuk manusia. Sistem ini tidak hilang meskipun otak manusia berevolusi dari manusia primitif hingga modern.
Untuk menjelaskan ketakutan yang tak bisa dijelaskan dalam dirinya, manusia mencari kekuatan di luar dirinya yang bersifat transendental. Hal itu membuat mereka tenang dan pusat kesenangan dalam otaknya tersentuh. Kesenangan merupakan fondasi rasa bahagia.
Sebelum ada agama, sesuatu yang transendental dicari pada benda-benda yang dianggap memiliki kekuatan, seperti pohon atau batu. Saat itu, kiamat belum dikenal. Sumber kesedihan adalah kematian dan bencana.
Setelah agama hadir, agama jadi pegangan. ”Dari agama, manusia memahami kematian dan mengenal istilah kiamat,” kata Taufiq yang menjadi pendiri Center for Neuroscience Health and Spirituality Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
Rasa takut itu bisa dinetralkan. Selain memiliki sistem limbik, manusia mempunyai sistem korteks di bagian depan otak manusia. Sistem korteks terkait dengan nalar dan logika.
Meskipun mendapat penjelasan tentang kematian dari agama, sistem korteks membantu merasionalkan rasa takut. Sistem korteks harus menjadi bagian utama saat menganalisis ketakutan. Jika yang memimpin sistem limbik, rasa takut akan memancing emosi yang mengharu biru.
Proses pendidikan Indonesia yang lebih menonjolkan aspek kognitif dan tidak mengembangkan nalar membuat proses berpikir rasional tidak terbangun.
”Lembaga pendidikan, keagamaan, pengembangan sains, dan pemerintah memiliki tanggung jawab yang sama dalam membangun masyarakat cerdas dan kritis hingga mampu menyaring semua informasi yang ada,” kata Guru Besar Psikologi Sosial UGM Faturochman.
Kompas Cetak
Editor :
yunan