Beranda » Sultan Iskandar Muda; Dua Wajah Sang Penakluk

Sultan Iskandar Muda; Dua Wajah Sang Penakluk



ZAMAN keemasan Aceh di bawah Kesultanan Iskandar Muda bukanlah sebuah dongeng seperti yang disebutkan Snouck Hurgronje.
_____________________________________________
“The golden age of Acheh in which the mohammedan law prevailed or in wich the Adat Meukuta Alam may be regarded as the fundamental law of the kingdom, belongs to the realm of legend.” (Masa keemasan Aceh, hukum Islam berlaku atau disebut dengan Adat Meukuta Alam. Hukum ini mungkin dianggap sebagai hukum dasar kerajaan, milik ranah legenda.")
Begitulah peneliti Belanda Snouck Hurgronje menyebut tentang era Kerajaan Aceh dalam bukunya The Achehnese yang versi terjemahannya terbit pada 1906. Namun, pernyataan Snouck terbantah oleh sebuah penelitian yang dilakukan peneliti Perancis Denys Lombard berjudul Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636).
Lahir di Perancis pada 1938, Lombard sudah lama memendam rasa penasaran akan nama besar Sultan Iskandar Muda. Pada 1967, setelah menelusuri sejumlah catatan sejarah tentang Aceh dan Iskandar Muda, ia menyelesaikan penelitiannya. Lombard menyelisik sejumlah dokumen, buku-buku lawas, hingga manuskrip yang tersimpan di sejumlah museum di luar negeri.
Sejumlah buku yang menjadi rujukannya antara lain Bustanussalatin karya Nurruddin Ar-Raniry, Hikayat Aceh yang anonim, catatan perjalanan Laksamana Perancis Augustin De Beaulieu yang datang ke Aceh pada 1620, hingga korespondensi surat menyurat antara Sultan Iskandar Muda dan sejumlah kerajaan di Eropa dan Timur Tengah. Lombard juga membongkar dokumen sastra Cina zaman Dinasti Ming.
Sebagian besar isi buku Lombard ini memang bersandar pada catatan perjalanan De Beaulieu. Alasannya, Beaulieu adalah satu-satunya orang Eropa yang dipercaya sultan untuk keluar masuk istana. Beaulieu pun sempat menetap setahun di Aceh.
Penelitian Lombard menyimpulkan, Aceh pada masa itu merupakan sebuah negara dengan sistem perkotaan bukan negara pertanian. Aceh sama halnya dengan negara-negara Asia pada umumnya.
Aceh memiliki kekuatan materiil dan berwibawa di mata orang asing. Ekspedisi laut diatur sesuai dengan suatu kebijaksanaan terpadu. Perdagangan berkembang di kota pelabuhan yang juga menjadi pusat kebudayaan di ujung Pulau Sumatera.
Sultan Aceh memiliki istana yang indah, mewah, dan pengiring raja yang jumlahnya banyak. Selain itu, daerah ini juga memiliki kesusastraan yang terus berkembang dengan pesat, dan ditambah menjadi pusat perdebatan para ulama dari India dan beberapa tempat lainnya.
Dengan kata lain, Aceh merupakan sebuah pusat pendidikan agama yang kemudian dikenal dengan kata Zawiyah. Dalam bukunya tersebut, Denys Lombard sekaligus mematahkan istilah Kerajaan Aceh sebagai kaum barbar atau perompak, seperti yang pernah dilontarkan oleh Sir R.O Winstedt dalam History of Malaya, Singapura, Kuala Lumpur, tahun 1962.
Dia mengatakan, ”In 1962…., tired of the fierce fights of cocks, rams and elephants and the “stomackful” encounter of baffles, pastimes of his barbaric court, Makota ‘Alam retook Aru which since the beginning of the century had been a fief of Johor.” (Pada 1962…, merasa bosan dengan adu ayam, domba jantan, dan gajah serta "stomackful" merupakan sebuah hal yang membingungkan. Ini merupakan kegiatan pengisi waktu dari pengadilan barbarnya. Mahkota Alam kemudian merebut kembali Aru yang sejak awal abad ini telah menjadi wilayah kekuasaan Johor).
Untuk membedah kata-kata Sir R.O  Winstedt tersebut, Denys Lombard menyampaikan sedikit banyaknya kebenaran tentang keberadaan Aceh dan sultan-sultan agungnya. Salah satu bukti kejayaan dan kemegahan Aceh adalah adanya istana.
Istana atau kerap disebut dengan “Dalam” merupakan pusat sekaligus kerangka semua perayaan dan kebudayaan. Pada abad ke-17, istana sultan sangat megah, tetapi kemegahan ini mulai meredup sejak abad ke 19. Istana itu dinamakan Dar-ud Dunia.
Kemegahan Darud Dunia hancur akibat perang antara Aceh dan Belanda. Bahkan, Snouck Hurgronje sama sekali tak menyebutkan tentang keberadaan Darud Dunia sebagai bentuk propaganda politik Belanda terhadap Aceh.
Bangunan yang masih tersisa dari Darud Dunia sejak Belanda berhasil menguasai Kuta Radja, dialihfungsikan menjadi tangsi militer. Sejak berhasil merebut pusat kekuasaan Aceh di abad 19, Belanda turut mengubah nama Dalam menjadi Kraton dan mengganti nama tersebut dari dalam peta serta dokumen-dokumen resmi. Belanda ingin menyeragamkan istilah Aceh dengan kerajaan-kerajaan di Jawa.
Sisa kejayaan Kerajaan Aceh hanyalah Pinto Khôp dan Gunongan. Kebudayaan peninggalan kerajaan Aceh juga masih terukir jelas di beberapa nisan para raja, yang sebagiannya masih asli dan dapat dibaca.
Banyak pihak menanyakan di mana sebenarnya letak Dalam (Istana) Kerajaan Aceh. Di masa Snouck Hurgronje bertandang ke Aceh, Dalam berada di tengah-tengah kota. Kawasan ini menjadi pusat daerah yang kemudian dikenal dengan sebutan Banda Aceh.
Sementara pada awal abad ke-17, Dalam itu terletak jauh sekali dari pemukiman yang sedikit demi sedikit meluas ke selatan dan akhirnya mengelilingi pemukiman tersebut.
Davis pada 1599 menulis, “his court is from the citie halfe a mile upon the river.” (Pengadilan terletak setengah mil dari sungai menuju kota). Satu setengah abad kemudian ditemukan petunjuk bahwa Dalam raja di Pusat Kota Banda Aceh.
Menggambarkan bagaimana kondisi Dalam tersebut, bisa dirunut dari kesaksian Beaulieu yang memiliki izin memasuki Dalam Dar-ud Dunia. “Kelilingnya lebih setengah mil (sekitar 2 km), bentuknya hampir bulat bujur, dan sekelilingnya ada parit yang dalamnya 25 sampai 30 kaki (10 m) dan sama lebarnya, agak sukar dilalui karena terjal dan penuh semak. Tanah galiannya dibuang ke arah istana sehingga merupakan tembok; di atasnya ditanami bambu, buluh besar yang tumbuh setinggi pohon frene, dan tegak dan tebalnya sedemikian rupa hingga tak tembus pandang…; bambu itu selalu hijau dan tak bisa dimakan api.”
***
Dalam perjalanannya ke Aceh dan bergaul dengan "istana", Jenderal Beaulieu yang merupakan utusan Raja Louis XIII dari Perancis menemukan bahwa aturan Kerajaan Aceh masa Sultan Iskandar Muda jauh berbeda dengan aturan-aturan yang ada di kerajaan-kerajaan Eropa.
Beaulieu merupakan satu-satunya bangsa asing yang berhasil masuk ke dalam istana Darud Dunia dan meneliti banyak hal. Berdasarkan cerita dalam buku Kerajaan Aceh karya Denys Lombard, disebutkan bahwa Sultan Aceh memiliki 3.000 perempuan dalam istananya.
Perempuan-perempuan tersebut merupakan satu-satunya penduduk perempuan yang ada di dalam istana. Tidak ada laki-laki yang boleh masuk jauh lebih dalam ke istana Kerajaan Aceh.
"Sesudah pelataran besar tempat kediaman Raja, tak ada laki-laki yang boleh masuk dan kaum perempuanlah yang dipakai baik, untuk penjagaan di dalam istana maupun untuk melayani sang raja. Menurut kata orang, jumlahnya 3.000 dan jarang sekali mereka keluar dari istana."
Namun, jumlah ini tidak dapat dipegang sebagai referensi satu-satunya karena berdasarkan perkiraan Beaulieu. Sementara jumlah yang dihitung de Graaff pada 1641 adalah tujuh hingga delapan ratus orang. "His women are his chiefest councellers; hee hath three wives and very many concubines, which are very closely kept."
Masih berdasarkan cerita Beaulieu, kaum perempuan itu mempunyai tata tertib sendiri di dalam tempat kediamannya: ada pasar, ada pengadilan, berbagai "kapten", dan "penghulu kawal", di antara perempuan itu ada sekurang-kurangnya 20 "putri raja yang sah".
Iskandar Muda memingit mereka dan Beaulieu tak memiliki banyak kesempatan untuk melihat mereka. Hal ini tidak berlaku pada masa pemerintahan Iskandar Thani. Para perempuan ini kerap mengikuti rombongan raja keluar istana.
Peter Mundy salah satu orang asing yang pernah melihat mereka dalam rombongan Iskandar Tsani dengan memegang busur dan anak panah. Kepala mereka botak karena dicukur pada waktu Iskandar Muda wafat. Sultan Iskandar Muda wafat pada 27 Desember 1636 atau bertepatan dengan 29 Rajab 1046 H. "All...shorne having cutt off their haire att the old Kings death, as most of the women in the towne."
De Graaff juga melihat mereka waktu pemakaman raja tahun 1641. Tahun ini merupakan tahun kematian Sultan Iskandar Tsani yang kemudian digantikan oleh istrinya Sultan Putri Taj ul-Alam.
***
Kerajaan Aceh sejak lama telah menjalin hubungan dengan sejumlah negara luar, seperti Inggris, Perancis, Amerika, Belanda, Turki, Cina dan beberapa negara di Asia lainnya. Di masa Aceh dipimpin Sultan Iskandar Muda Johan Berdaulat, daerah ini juga mengikat hubungan dengan negara-negara besar Eropa. Satu di antaranya adalah negara Perancis.
Kerajaan Aceh yang kaya akan hasil bumi, menarik hati pembesar-pembesar atau raja-raja dari Eropa untuk menjalin hubungan diplomatis. Seperti halnya yang dilakukan oleh Raja Louis XIII lewat perantaranya de Beaulieu.
Mereka saling mengirimkan surat dan mengikat kerja sama di bidang perdagangan. Sayangnya, surat-surat yang ditujukan Raja Perancis ini raib dan tidak tahu ke mana.
Dalam buku Kerajaan Aceh karya Denys Lombard hanya melampirkan surat balasan dari Sultan Iskandar Muda yang berisi tentang hubungan dagang antara Aceh dan Perancis pada masa itu.
Berikut terjemahan petikan surat yang juga disajikan dalam teks aslinya oleh Lombard.
Surat dari Sri Sultan yang agung, yang berkat bantuan Allah telah menaklukkan dan menundukkan beberapa kerajaan, Raja Aceh dan, dengan rahmat Allah, Raja semua tanah di masyrik dan maghrib. Di masyrik, kerajaan, daerah dan tanah-tanah Deli; Kerajaan Johor beserta daerah dan tanah-tanahnya; Kerajaan Pahang, Kerajaan Kedah dan Kerajaan Perak bersama daerah dan tanah-tanahnya. Di maghrib, Kerajaan dan wilayah Priaman, Kerajaan dan wilayah Tiku; Kerajaan dan Wilayah Paseman.
Dialamatkan kepada Raja Prancis yang agung dan kuasa. Hendaknya diketahui Raja Prancis bahwa surat yang dikirimnya dengan perantaraan Kapten Jenderal de Beaulieu telah disampaikan kepada saya dan bahwa telah say abaca apa yang tertulis di dalamnya dan bahwa kepada saya telah disebutnya kebaikan Kapten Jenderal itu yang saya perlakukan dengan hormat sekali, baik dalam hal perniagaan, maupun waktu saya beri gelar dan kedudukan seperti orang kaya saya yang terkemuka.
Berhubung dengan tawaran apakah saya memerlukan sesuatu dari Prancis, saya sampaikan dengan perantaraan Kapten Jenderal de Beaulieu sebuah laporan (laporan ini hilang tanpa jejak) untuk menunjukkan betapa besar penghargaan saya, dan saya katakan pula, jika Allah mengarahkan surat ini dengan selamat, saya mengharapkan jawaban dengan kapal-kapal yang bakal datang bermuatan barang dagangan untuk diperjualbelikan di kerajaan ini, suatu hal yang bakal sangat menyenangkan hati saya; maka saya berdoa kepada Allah supaya negara Raja Prancis selamatlah.
Dan karena Allah telah membuat kita raja-raja besar di dunia ini, maka sudah sepantasnya kita bersahabat dan menjalin hubungan. Sebagai tanda persahabatan, saya mengirim delapan bahar (350 pon Prancis atau 180 kg) lada yang diambil dari tanah ini (Aceh). Semoga Allah masih bertahun-tahun lamanya melindungi Yang Mulia Raja Prancis bersama negara-negara dan kerajaan-kerajaannya.
Dibuat pada bulan Rajab (atau Juni) tahun seribu tiga puluh (1030 H/ Juni 1621 M).
Begitulah. Kini, setelah 376 tahun Sultan Iskandar Muda berpulang, adakah semangatnya masih terwariskan dalam diri ureung Aceh?.
Selengkapnya baca tabloid mingguan The Atjeh Times edisi 31 Desember  2012- 6 Januari 2013 dengan judul cover "Iskandar Muda: Dua Wajah Sang Penakluk."[]



Powered by Blogger.