Beranda » Kisah Seorang Wanita Tua dari Bani Israil

Kisah Seorang Wanita Tua dari Bani Israil





Dalam sebuah riwayat, Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam menceritakan sebuah kisah tentang Nabi Musa ‘alaihissalam dan Bani Israil. Berikut ini kisahnya:

Dari Abu Musa ia berkata, seorang badui datang kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, kemudian beliau memuliakannya dan berkata: ‘kemarilah‘. Orang badui itu lalu mendatangi beliau. Kemudian Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

(Dalam riwayat lain, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam turun dari tunggangan beliau lalu memuliakannya. Beliau berkata kepada orang itu: ‘kemarilah bersama kami‘. Orang badwi itu lalu mendatangi beliau. Kemudian Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: )

“Sebutlah apa yang engkau inginkan“. Orang badwi menjawab: ‘Saya ingin unta dan pelananya serta kambing yang dapat diperah untuk memberi minum keluarga saya’. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam lalu bersabda:

“Apakah kalian tidak menginginkan seperti yang diinginkan oleh wanita tua dari Bani Israil?”.

Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah siapa yang dimaksud wanita tua dari Bani Israil itu?”.

Beliau berkata: “Musa ketika pergi dari Mesir bersama Bani Israil, mereka tersesat di jalan”.

Musa bertanya: “Apa sebabnya menjadi begini?”.

Orang-orang berilmu dari Bani Israil menjawab: “Kami beritahukan kepadamu, Nabi Yusuf ketika menjelang wafatnya membuat perjanjian dengan kami yang dipersaksikan oleh Allah, yaitu agar tidak keluar dari Mesir kecuali membawa jasad beliau bersama kami”.

Musa berkata: “Kalau begitu siapa yang mengetahui dimana letak kuburnya?”.

Mereka berkata: “Diantara kami tidak ada yang tahu letak makam beliau kecuali seorang wanita tua dari Bani Israil”. 

Lalu Musa mengutus orang untuk memanggilnya hingga wanita tersebut datang kepada Musa.

Musa berkata kepada wanita itu: “Tunjukan kami letak makam Nabi Yusuf”. Wanita tersebut berkata: “Demi Allah tidak akan aku lakukan, sampai engkau mentaati ketentuanku”.

Musa bertanya: ‘”Apa ketentuanmu itu?”.

Wanita tersebut berkata: “Jadikan aku penghuni surga bersamamu”.

Nabi Musa pun enggan memenuhinya, hingga Allah mewahyukan kepada Musa agar mentaati ketentuan tersebut. Lalu mereka pergi ke mata air dari sebuah danau.

Wanita tersebut berkata: “Keringkan airnya lalu gali dan keluarkanlah jasad Nabi Yusuf”. Ketika jasadnya diangkat, jalan pun seketika menjadi jelas bagaikan terangnya siang.

(HR. Abu Ya’la dalam Musnad-nya 1/344, Al Hakim 2/404-405)

Derajat Hadits

Al Hakim berkata: “Hadits ini shahih sesuai dengan syarat Shahih Bukhari dan Muslim”. Penilaian Al Hakim ini disetujui oleh Adz Dzahabi. Al Albani berkata: “Yang benar, hadits ini shahih sesuai dengan syarat Shahih Muslim saja. Karena Al Bukhari tidak mengeluarkan riwayat Yunus di dalam Shahih-nya, melainkan di kitabnya yang lain yaitu Juz Al Aqira’ah“. (Silsilah Ahadits Shahihah, 1/623)

Faidah Hadits

1. Betapa mulianya akhlak Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam terhadap orang awam.

2. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam adalah pemimpin negara yang senantiasa peduli terhadap kebutuhan rakyatnya, terutama orang-orang lemah yang kurang mampu. Tidaklah tersisa harta beliau melainkan sebatas harta untuk memenuhi kewajiban sebagai suami kepada keluarganya dan harta untuk diberikan kepada orang lain. Sebagaimana sabda beliau:

“Bagi seorang khalifah, tidak halal memiliki harta dari Allah, kecuali dua piring saja. Satu piring untuk kebutuhan makannya bersama keluarganya. Dan satu piring untuk ia berikan kepada rakyatnya” (HR. Ahmad, dishahihkan oleh Al Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah no.362)

3. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam membimbing ummat-nya agar senantiasa lebih mendambakan kebaikan akhirat dibanding kebaikan dunia semata. Umar bin Khattab Radhiallahu’anhu berkata:

“Ketika aku melihat bekas tikar di sisi badan beliau, aku pun menangis. Beliau bertanya, “Apa yang membuatmu menangis?” Aku jawab, “Wahai Rasulullah, sungguh Kisra dan Kaisar berada dalam kemegahannya, padahal engkau adalah utusan Allah” Beliau menjawab, “Tidakkah engkau ridha mereka mendapatkan dunia sedangkan kita mendapatkan akhirat?” (Muttafaq ‘alaihi)

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

“Tiadalah dunia dibanding akhirat melainkan hanyalah seperti air yang menempel di jari ketika salah seorang dari kalian mencelupkannya di laut.” (HR. Muslim no.2858).

4. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengharapkan para sahabatnya meminta sebagaimana yang diminta oleh wanita tua dari Bani Israil, yaitu: surga. Ini menunjukkan bahwa mengharap surga itu tidaklah tercela, bukan tanda sedikitnya keikhlasan, bukan tanda rendahnya cinta kepada Allah, sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang.

5. Kaum Bani Isra’il ketika itu berada di atas ilmu dan tauhid yang lurus, mereka tidak menyembah atau mengagungkan kuburan para Nabi. Mereka tidak ngalap berkah atau bertawassul dengan mayat para Nabi.
Silakan simak Hukum Ber-tabarruk Kepada Orang Shalih.

6. Jangankan menyembah kuburan atau ngalap berkah, bahkan tidak terbesit dalam benak mereka untuk mencari tahu letak kuburan para Nabi. Yang tahu pun, ternyata tidak gembar-gembor atau dengan mudah memberi tahu letaknya. Mereka juga tidak membangun dan membuat megah kuburan tersebut. Nabi Musa dan Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam tidak mencela mereka karena demikianlah yang seharusnya. Berbeda dengan orang-orang di zaman ini yang malah mencela orang-orang yang enggan mengagungkan kuburan orang shalih agar tidak dijadikan sarana kesyirikan.

7. Para Nabi tidak dapat memberi syafa’at kecuali atas izin Allah. Sebagaimana Nabi Musa tidak dapat menjamin wanita tersebut masuk surga kecuali setelah diizinkan oleh Allah. Allah Ta’ala berfirman:

“Katakanlah, hanya milik Allah lah semua syafa’at itu. Ia yang menguasai langit dan bumi dan kepada-Nya lah engkau akan kembali” (QS. Az Zumar: 44)

8. Jasad para Nabi tidak hancur dimakan tanah.
9. Bukti adanya mu’jizat bagi para Nabi.
10. Wajibnya menunaikan janji, terlebih lagi perjanjian dengan para Nabi Allah.

11. Kata عظام yang artinya ‘tulang-belulang’ kadang bermakna ‘badan seutuhnya’. Jika عظام dalam hadits di atas kita artikan ’tulang-belulang’, maka bertentangan dengan hadits:

“Sungguh Allah Ta’ala mengharamkan kepada bumi untuk memakan jasad para Nabi” (HR. Abu Daud 662, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah no.1527). 

Namun yang benar, kita maknai عظام dengan makna ’badan seutuhnya’ sebgaimana terdapat hadits :

“Ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sudah berusia senja, Tamim Ad Daari berkata kepada beliau:’Wahai Rasulullah, maukah aku ambilkan mimbar yang dapat membawa badanmu?’. Beliau berkata: ‘Boleh’. Lalu ia mengambil mimbar yang memiliki 2 anak tangga” (HR. Abu Daud 1081, Al Albani berkata: “Sanadnya jayyidsesuai dengan syarat Muslim”). 

Demikian penjelasan Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah (1/624).



Powered by Blogger.